Dari sisi ekonomi, konsep low cost green car (LCGC) adalah mobil yang diproduksi untuk sejumlah alasan positif. Pertama, kehadirannya akan menciptakan permintaan baru serta mendorong pertumbuhan pasar otomotif domestik karena akan semakin banyak orang yang mampu membeli mobil.

Kedua, kehadiran LCGC akan mendorong pabrikan mobil untuk lebih agresif berinvestasi di Indonesia. Ketiga, manfaat investasi tersebut akan menciptakan lapangan kerja baru sehingga mendorong peningkatan pendapatan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.

Penghitungan teknis dari pemerintah memperkirakan bahwa program LCGC ini dapat menciptakan lapangan kerja baru sebanyak 70.000 orang. Selain itu, Kementerian Perindustrian juga mengklaim program mobil murah ini bisa mendatangkan komitmen investasi sebesar 6,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 72 triliun. Angka tersebut diambil dari perkiraan investasi ke industri otomotif sebesar 3 miliar dollar AS dan 3,5 miliar dollar AS modal yang akan mengalir ke 100 industri komponen otomotif baru.

Tujuan akhirnya, pertumbuhan ekonomi bisa terpacu lewat pertumbuhan sektor ini. Sektor industri memang menyumbang peran signifikan. Seperlima produk domestik bruto Indonesia disumbang oleh sektor ini. Setelah makanan dan minuman, sektor industri pendukung otomotif seperti mesin dan perakitannya menempati urutan kedua dalam pertumbuhan di sektor industri secara keseluruhan.

Menambah kemacetan

Namun, semua penghitungan pemerintah itu tidak serta-merta mendapatkan dukungan utuh. Sejumlah kalangan, mulai dari lembaga swadaya masyarakat, akademisi, hingga sebagian birokrat menyuarakan kekhawatiran sisi buruk keberadaan mobil murah. Kekhawatiran itu tak bisa dipandang sebelah mata. Dampak kemacetan, potensi peningkatan konsumsi bahan bakar minyak, dan pengurangan insentif pajak mobil akhirnya menjadi ancaman yang harus ditanggung masyarakat luas.

Sepanjang empat tahun terakhir (2009-2012) rata-rata ada 570.664 kendaraan roda empat baru di seluruh Indonesia, tidak termasuk kendaraan angkutan barang atau angkutan umum baru. Dari jumlah itu, paling tidak 26 persen (148.373 unit) ada di Jakarta. Anggap saja satu unit kendaraan mempunyai panjang 3,5 meter seperti panjang rata-rata mobil LCGC. Jika kendaraan sebanyak itu terparkir dengan deretan memanjang, paling tidak mobil-mobil itu akan memakai panjang jalan hingga 520 kilometer.

Kendaraan sebanyak itu belum termasuk perkiraan mobil murah yang akan masuk ke Jakarta tahun ini. Untuk pasar Jakarta saja diperkirakan jumlah mobil yang akan terserap pasar tahun ini sekitar 3.000 unit atau 10 persen dari total produksi mobil LCGC. Dengan penghitungan yang sama, deretan memanjang 3 ribu unit mobil murah tersebut membutuhkan paling tidak panjang jalan 10 kilometer.

Pertambahan mobil pribadi yang bisa menghabiskan jalan sepanjang itu akan menjadi ironis dibandingkan dengan pertambahan panjang jalan di Jakarta.

Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum, panjang jalan di Jakarta sekitar 7.200 km, sementara pertumbuhan jalan hanya 0,01 persen per tahun.

Itu berarti, setiap tahun panjang jalan di ibu kota negara ini hanya bertambah 720 meter panjangnya. Melihat kondisi ini, bisa diperkirakan bahwa kehadiran mobil murah akan memacu pertambahan jumlah kendaraan dan akhirnya memperparah kemacetan lalu lintas.

Saat ini saja, kerugian akibat kemacetan di Jakarta rata-rata sudah mencapai Rp 35 triliun per tahun berdasarkan kajian Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada. Kerugian itu terdiri dari biaya bensin yang terbuang sia-sia senilai Rp 12 triliun per tahun dan biaya operasional kendaraan Rp 23 triliun per tahun.

Kerugian tersebut ditanggung oleh 2,5 juta mobil pribadi yang tercatat di Jakarta. Artinya, setiap mobil di Jakarta rata-rata menanggung kerugian biaya bensin Rp 4,8 juta setahun dan biaya operasional kendaraan dalam setahun Rp 9,2 juta. Dengan pertambahan mobil baru rata-rata 151.000 unit setiap tahun, termasuk hadirnya 3.000 unit mobil murah, kerugian akibat kemacetan tentu akan bertambah.

Jika separuh saja dari 151.000 mobil baru itu beroperasi, dalam setahun akan ada tambahan kerugian Rp 1,4 triliun akibat dampak kemacetan.

Konsumsi bensin pun akan meningkat akibat bertambahnya mobil baru. Jika mobil baru di Jakarta bertambah 151.000 unit saja, dibutuhkan konsumsi bahan bakar fosil hingga 0,6 juta kiloliter atau setara Rp 3,7 triliun.

Satu hal lagi, mobil LCGC ini memperoleh kompensasi sebesar 10 persen dari pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM). Minimal dalam setahun, pengurangan pajak 3.000 unit mobil LCGC di Jakarta senilai Rp 75 miliar.

Secara keseluruhan, biaya kemacetan, konsumsi bensin dan pengurangan pajak tersebut mencapai Rp 40,2 triliun. Nilai kerugian ini mencapai 56 persen dari total komitmen investasi senilai Rp 72 triliun yang diperkirakan pemerintah akan masuk ke sektor otomotif.

Seandainya dampak buruk dari dari pertambahan kendaraan di Jakarta bisa ditekan separuh saja, manfaatnya sudah cukup besar untuk mendukung anggaran pemerintah pusat. Hilangnya nilai kerugian Rp 20 triliun saja berarti setara dengan 10 persen belanja modal anggaran pemerintah 2014 (Rp 205,8 triliun), 17 persen dari total pembayaran utang pemerintah (Rp 119,5 triliun) dan setara 75 persen belanja bantuan sosial (Rp 26,6 triliun).

Bisa dibayangkan, berapa tambahan amunisi pendapatan negara jika salah satu pos anggaran pemerintah pusat ini mendapat dukungan dari kumpulan rupiah biaya kemacetan tersebut. Sebaliknya, bisa ditebak juga beban kerugian yang akan muncul dengan semakin banyaknya mobil pribadi meskipun tercipta lapangan kerja baru. (Litbang Kompas)