Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

WTO dan Pertanian Kita

Kompas.com - 09/12/2013, 09:03 WIB


KOMPAS.com -
Akhir minggu lalu pertemuan tingkat menteri 159 negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Ke-9 di Bali menelurkan kemajuan cukup menggembirakan. Kesepakatan utama meliputi keamanan pangan (food security), penyederhanaan prosedur kepabeanan yang menghambat perdagangan, dan fasilitasi perdagangan untuk mempermudah akses ekspor negara-negara miskin ke pasar negara maju.

Walaupun kesepakatan itu hanya bagian kecil dari Putaran Doha, Paket Bali merupakan kemajuan berarti dalam sejarah perjalanan WTO sejak terbentuk hampir 20 tahun silam. Kajian Peterson Institute of International Economics memperkirakan kesepakatan ini memompakan 960 miliar dollar AS dalam perekonomian global dan menciptakan 21 juta tambahan pekerja, 18 juta pekerja di antaranya di negara berkembang.

Kesepakatan tentang keamanan pangan memberikan jeda kepada negara berkembang menggelontorkan subsidi pangan melebihi 10 persen dari output sesuai ketentuan WTO. Pelonggaran berlaku untuk empat tahun. Dengan pelonggaran ini, pemerintah negara berkembang boleh membeli produk pangan dari petani di atas harga pasar dan menjualnya dengan harga terjangkau untuk melindungi penduduk miskin.

Apa relevansi kompromi itu bagi Indonesia? Nyaris tidak ada. Sejauh ini pemerintah sangat kikir mengalokasikan subsidi pertanian untuk memperkokoh ketahanan dan keamanan pangan. Bulog tidak melakukan operasi pasar secara berarti untuk membantu petani ketika panen dengan harga di atas harga pasar dan menjualnya kepada konsumen dengan harga terjangkau. Bulog pun tidak memperoleh subsidi dari APBN untuk melakukan operasi pasar. APBN hanya mengalokasikan subsidi pangan, pupuk, dan benih yang nilainya dalam lima tahun terakhir sekitar Rp 30 triliun setahun, jauh lebih rendah ketimbang subsidi energi.

Dalam Global Food Security Index 2012 yang diterbitkan Economist Intelligence Unit, Indonesia hanya menduduki urutan ke-64 dengan nilai 46,8 dari nilai tertinggi 100. Sebagai perbandingan, Malaysia di urutan ke-33, China ke-38, Thailand ke-45, Vietnam ke-55, dan Filipina ke-63.

Pemburukan ketahanan/keamanan pangan kita juga terlihat dari defisit perdagangan pangan yang sudah terjadi sejak tahun 2007. Sekalipun produksi beras dilaporkan meningkat dan pada 2012 surplus ditaksir mencapai 5,8 juta ton, impor beras tetap besar dan cenderung naik. Tahun 2011 impor beras hampir 2,5 juta ton.

Luas panen jagung dan kedelai cenderung turun dari tahun ke tahun, sementara yield naik tetapi relatif lambat. Produksi jagung relatif tak berkembang dan produksi kedelai cenderung turun. Akibatnya, impor kedua komoditas pangan ini cenderung naik. Dalam tiga tahun terakhir, impor jagung sekitar 1,5 juta ton sampai 3,2 juta ton, dan impor kedelai sekitar 1,7 juta ton sampai 2,1 juta ton. Target swasembada pangan terasa kian jauh. Tak hanya beras dan jagung, tetapi juga banyak komoditas pangan lainnya, seperti daging sapi, hortikultura, bahkan garam.

Dengan kinerja pangan yang semakin melorot, apa yang bisa kita nikmati dari kesepakatan WTO di Bali? Justru, sebaliknya, kita harus bersiap-siap menghadapi gempuran impor pangan sejalan dengan tekad WTO untuk memangkas berbagai hambatan prosedur kepabeanan. Selama ini kita terbuai dengan julukan negara agraris. Padahal, porsi lahan pertanian di Indonesia relatif kecil dibandingkan dengan India, China, dan Brasil, bahkan lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata dunia.

Arable land (tanah yang siap ditanami) per kapita di Indonesia hanya 0,1 hektar. Setiap tahun terjadi konversi dari lahan pertanian ke non-pertanian, sedangkan pencetakan lahan baru, khususnya untuk pertanian pangan dan hortikultura, praktis tak terjadi. Hal inilah yang diperkirakan menyebabkan kemerosotan jumlah rumah tangga usaha pertanian sebanyak 5,1 juta dalam sepuluh tahun terakhir. Penurunan terjadi di semua subsektor pertanian. Yang paling tajam dialami rumah tangga petani hortikultura sebanyak 6,3 juta, diikuti oleh rumah tangga peternakan sebanyak 5,6 juta. Jumlah penurunan di kedua subsektor ini lebih besar dibandingkan penurunan keseluruhan usaha pertanian, karena satu rumah tangga usaha pertanian dapat mengusahakan lebih dari satu subsektor usaha pertanian.

Pola penurunan jumlah rumah tangga pertanian itu mengindikasikan peralihan pekerjaan dari sektor pertanian ke non-pertanian. Apakah mereka berpindah ke sektor industri manufaktur?

Agaknya tidak demikian, apalagi mengingat penurunan tajam terjadi untuk rumah tangga petani gurem dan mayoritas terjadi di Jawa. Selama 2003-2013, rumah tangga petani gurem turun tajam sebanyak 4,8 juta. Kebanyakan mereka berpendidikan rendah sehingga amat sulit diserap industri manufaktur. Mengingat pula industri padat karya, seperti garmen dan sepatu, kian meredup sejalan dengan kenaikan upah. Belakangan industri yang makin berkembang adalah industri padat modal dan industri yang membutuhkan keterampilan lebih tinggi. Tak pelak lagi, pilihan bagi kebanyakan rumah tangga petani yang semakin terjepit kehidupannya, menyemut sebagai pekerja informal atau berusaha di sektor informal non-pertanian.

Tak ada pilihan bagi Indonesia kecuali merestorasi sektor pertanian. Selain itu, mulailah serius mengelola sumber daya maritim. Kita memiliki sumber daya kelautan melimpah: luas lautan tiga kali lebih besar daripada luas daratan, garis pantai sepanjang 95.181 kilometer, dan kandungan kekayaan beraneka ragam biota laut dan potensi minyak dan gas alam. Lebih dari cukup untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia.

Faisal Basri, Ekonom

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Whats New
Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Whats New
Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Whats New
Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Whats New
Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Whats New
Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Work Smart
Dukung 'Green Building', Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Dukung "Green Building", Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Whats New
Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Whats New
Kinerja Pegawai Bea Cukai 'Dirujak' Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Kinerja Pegawai Bea Cukai "Dirujak" Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Whats New
Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Whats New
Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Work Smart
Viral Mainan 'Influencer' Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Viral Mainan "Influencer" Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Whats New
Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Spend Smart
Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Spend Smart
Investasi Aman, Apa Perbedaan SBSN dan SUN?

Investasi Aman, Apa Perbedaan SBSN dan SUN?

Work Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com