Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RI Galang Kekuatan

Kompas.com - 07/01/2014, 08:33 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia dan Argentina sepakat membawa tuduhan dumping oleh Uni Eropa terhadap produk minyak nabati ke penyelesaian sengketa Organisasi Perdagangan Dunia. Tuduhan dumping dan pengenaan bea masuk yang tinggi dinilai sebagai hambatan nontarif multilateral.

Uni Eropa menerapkan tarif masuk tertentu atau tarif khusus terhadap minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dari Indonesia dan minyak kedelai dari Argentina pada 28 November 2013 karena menganggap minyak nabati dijual di bawah harga pasar.

Kantor berita Reuters menyebutkan, Komisi Eropa akan mengenakan tarif rata-rata 24,6 persen terhadap minyak nabati Argentina, dan 18,9 persen terhadap minyak nabati dari Indonesia yang diekspor ke negara-negara Eropa.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi menjelaskan, Indonesia dan Argentina juga akan saling mendukung di forum lobi. ”Indonesia dan Argentina sama-sama sepakat bahwa tuduhan dumping dengan menyatakan bahwa harga minyak nabati dari Indonesia dan Argentina dijual murah ke Eropa tidak logis. Itu yang akan dibawa ke penyelesaian sengketa di WTO,” kata Bachrul, Senin (6/1/2013).

Argentina disebut oleh Bachrul akan memberi dukungan saat Indonesia meminta pencabutan tarif khusus. Sebagai kompensasi, Indonesia akan memberikan dukungan kepada Argentina di penyelesaian sengketa WTO.

Pengenaan tarif khusus terhadap produk minyak nabati Indonesia dan Argentina akan berlaku selama lima tahun sejak diberlakukan pada November 2013.

Negara-negara Eropa menganggap penjualan minyak nabati dari Indonesia dan Argentina dengan harga murah akan mendistorsi pasar Eropa dan merusak industri manufaktur. Argentina dan Indonesia adalah dua eksportir terbesar minyak nabati ke Eropa yang menguasai 90 persen impor minyak nabati Eropa.

Bachrul menyatakan, hambatan nontarif ekspor ke Uni Eropa harus secepatnya diselesaikan karena kawasan itu merupakan pintu masuk ke negara-negara maju.

”Ada banyak hambatan, baik tarif maupun nontarif yang diterapkan terhadap CPO Indonesia. Pemerintah berkewajiban untuk menyelesaikan persoalan itu di tingkat sidang WTO,” ujar Bachrul.

Perang dagang

Produsen CPO Indonesia menilai, pengenaan tarif khusus karena tuduhan dumping itu tak lebih dari perang dagang produsen minyak nabati dari Eropa. Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menjelaskan, tuduhan Uni Eropa bahwa CPO dijual murah tidak berdasar.

”Produktivitas CPO itu paling tinggi di antara berbagai jenis minyak nabati. Dengan tingkat produktivitas yang sangat tinggi, harga CPO pasti lebih murah dibandingkan jenis minyak nabati lainnya,” kata Joko.

Produktivitas minyak nabati Indonesia 6 hingga 10 kali lebih tinggi dibandingkan jenis minyak nabati lainnya. Perkebunan kelapa sawit Indonesia bisa menghasilkan 3,5 ton CPO per hektar per tahun.

Sementara, perkebunan di Jerman dan Perancis hanya bisa menghasilkan sekitar 0,8 ton minyak kanola (rapeseed) per hektar per tahun.

Harga CPO menurut bursa berjangka di Amsterdam, Belanda, berfluktuasi antara 820 dollar AS hingga 850 dollar AS. Dengan biaya pengapalan antara 60 dollar AS hingga 70 dollar AS per ton, harga CPO di Indonesia berkisar antara 750 dollar AS hingga 850 dollar AS.

Joko mendorong pemerintah untuk aktif mengupayakan penyelesaian sengketa dagang di WTO. Dalam beberapa kali pembuktian secara keilmuan, tuduhan-tuduhan terhadap CPO Indonesia tidak benar.

”Ada banyak jenis hambatan nontarif yang diberlakukan. Sangat penting untuk membuktikan tuduhan tersebut dengan dasar keilmuan,” kata Joko. (AHA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com