Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akrobat Larangan Ekspor Mineral Mentah

Kompas.com - 20/01/2014, 10:15 WIB


KOMPAS.com -
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan tegas menyatakan, pemegang izin usaha pertambangan dan izin usaha pertambangan khusus wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan (Pasal 103) selambat-lambatnya lima tahun sejak undang-undang ini diundangkan (Pasal 170).

Sebagaimana ”penyakit” undang-undang lain pada umumnya, Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara mengamanatkan ketentuan lebih rinci diatur dengan peraturan pemerintah dan ketentuan lebih rinci dari peraturan pemerintah diatur dengan peraturan menteri.

Pengusaha membutuhkan kepastian. Investasi yang harus dibenamkan untuk pengolahan mineral membutuhkan dana relatif besar. Sudah barang tentu pengusaha baru bisa mengambil langkah nyata dan terukur setelah segala aturan jelas, terutama terkait dengan mekanisme insentif dan disinsentif.

Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara baru terbit 1 Februari 2010. Peraturan menteri baru dikeluarkan dua tahun kemudian, 6 Februari 2012. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 7 Tahun 2012 yang mengatur kadar kemurnian ini mengalami dua kali revisi, masing-masing dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2012 pada 6 Mei 2012 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 20 Tahun 2013 pada 1 Agustus 2013. Tak berhenti di situ.

Beberapa hari menjelang pemberlakuan larangan ekspor mineral mentah pun, Presiden masih berwacana dengan meminta pandangan mantan Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra. Akhirnya keluar perubahan kedua atas PP Nomor 23 Tahun 2010 lewat PP Nomor 1 Tahun 2014 satu hari sebelum tenggat 12 Januari 2014. Pada hari yang sama, terbit pula Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014.

Di tengah ketidakpastian regulasi, pengusaha terus menggenjot ekspor mineral mentah. Selama kurun waktu empat tahun terakhir, ekspor sejumlah hasil tambang naik berlipat ganda. Pemerintah seharusnya sudah mengantisipasi perilaku pengusaha sejak dini dengan menerapkan pajak (bea keluar) progresif atas ekspor tambang/mineral belum diolah. Kenyataannya, peraturan pajak progresif baru dikeluarkan tahun ini.

Tarik ulur sedemikian keras. Aneh jika pada detik-detik terakhir tenggat pemerintah masih menghitung-hitung untung-rugi penerapan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 terhadap ekspor, penerimaan negara, dan pengangguran.

Karena aturan kerap berubah, ditambah situasi sektor eksternal perekonomian kita yang sedang tertekan, akhirnya pemerintah memberikan banyak kompromi dan terkesan diskriminatif yang bisa menguntungkan perusahaan-perusahaan tambang raksasa.

Pemerintah praktis tidak menyiapkan sarana pendukung bagi upaya peningkatan nilai tambah hasil tambang. Usaha peleburan merupakan proses produksi yang membutuhkan energi listrik sangat besar dan fasilitas penunjang seperti pelabuhan dan jalan. Kalau semua harus dibangun oleh pengusaha, ongkos tetap (fixed cost) sangat besar. Pemerintah sepatutnya sudah sejak awal mengantisipasi dengan mengarahkan lokasi pengolahan, lalu menyediakan fasilitas penunjang. Tidak bisa menggunakan kiat simsalabim.

Setidaknya, pemerintah menawarkan insentif bagi perusahaan yang terpaksa harus membangun sendiri fasilitas penunjang yang seharusnya merupakan tanggung jawab pemerintah. Pemberian insentif dimungkinkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sebagaimana tercantum pada Pasal 168.

Regulasi yang tidak stabil dan beragam peraturan turunannya yang dikeluarkan oleh kementerian-kementerian terkait berpotensi menjadi ajang tawar-menawar dan memperlebar celah praktik korupsi. Sudah sepatutnya sejak dini dilakukan evaluasi untuk menguji konsistensi sejumlah peraturan dan dibuat sesederhana mungkin. Jangan sampai berbagai regulasi justru menyuburkan praktik pemburuan rente. Tujuan mulia Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 harus diperkokoh dengan penguatan inclusive economic institutions, bukan sebaliknya memperkokoh extractive economic institutions.

Revisi atas peraturan pemerintah dan peraturan di tingkat menteri yang terjadi berkali-kali jangan-jangan mengindikasikan sumber masalahnya ada pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sendiri.

Tanpa perombakan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang mengandung banyak kelemahan, niscaya peraturan perundang-undangan di bawahnya tidak akan pernah optimal, bahkan menimbulkan peluang untuk dibatalkan lewat peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, sebagaimana pernah terjadi. Jangan sampai undang-undang yang berlaku justru bertentangan dengan tujuan mengelola sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat, bukan bagi orang seorang.

Agar konsisten dengan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam lainnya, sudah sepatutnya kita memiliki undang-undang pengelolaan sumber daya alam yang menjamin bagi kemakmuran rakyat, yang menjadikan sumber daya alam menjadi berkah, bukan kutukan. (Faisal Basri, Ekonom)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com