DAVOS, KOMPAS.com -
Kebijakan yang diambil Indonesia sejauh ini membuat ekonomi lebih stabil dan memberikan kepastian. Kebijakan Indonesia mendapat tanggapan positif. Namun, sebaiknya tak ada lagi pelonggaran likuiditas karena menimbulkan kondisi tidak normal pada perekonomian global.

Demikian disampaikan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Mahendra Siregar kepada wartawan, termasuk wartawan Kompas, Pieter P Gero, di Davos, Swiss, Kamis (23/2/2014).

Agus, Mahendra, Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, dan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menghadiri Forum Ekonomi Dunia di Davos. Forum tahunan yang menghadirkan pemimpin dan pejabat pemerintahan, chief executive officer, investor global, serikat buruh, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat ini berlangsung pada 23-25 Januari 2014.

Mahendra mengatakan, krisis global terjadi karena kebijakan mengerem keuntungan dan spekulasi besar-besaran tahun 2009 lalu. ”Kebijakan quantitative easing (QE/kebijakan likuiditas longgar Bank Sentral Amerika Serikat) tidak memberikan keuntungan ke sektor riil, khususnya buruh,” ujar Mahendra.

Menurut dia, QE seperti memberikan ”darah segar” bagi aksi spekulasi. ”Ini menimbulkan kondisi tidak normal di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Terjadi ketimpangan,” katanya.

Agus menegaskan, kepastian soal pengurangan stimulus moneter (tapering off) sudah dilakukan dengan pengurangan 10 miliar dollar AS setiap bulan dan berakhir tahun 2014 ini. ”Kami melihat kondisi kebijakan QE sudah dalam hitungan kebijakan ekonomi Indonesia,” ungkap Agus.

BI, kata dia, sudah melakukan kebijakan moneter yang sesuai. BI juga sudah berkomunikasi intens dengan sesama negara sedang bertumbuh. ”Untuk mengurangi dampaknya, kami meminta negara maju juga mengomunikasikan setiap kebijakan moneter yang akan dilakukan. WEF (World Economic Forum/Forum Ekonomi Dunia) ini salah satu forum terbaik komunikasi hal ini,” ucapnya.

Namun, di sisi lain, lanjutnya, Indonesia juga perlu memperbaiki perekonomian domestik. Pemerintah pusat, BI, pemerintah daerah, dan sektor riil harus melakukan reformasi struktural dan itu sungguh-sungguh dilaksanakan.

Reformasi struktural itu antara lain memperbaiki infrastruktur, meningkatkan ketahanan pangan, dan memperbaiki ketahanan energi, termasuk mengurangi impor bahan bakar minyak. Selain itu, mendorong daya saing industri, kemandirian ekonomi nasional, dan pemenuhan produk perantara serta menciptakan struktur pembiayaan yang luas, dalam, dan berkesinambungan.

”BI dan pemerintah akan terus melakukan semua ini, termasuk melakukan pendalaman dan perluasan pasar mikro kita,” kata Agus. Ia juga menekankan perlunya memperhatikan pasokan valuta yang masih minim dibandingkan dengan kebutuhan dan menekan defisit transaksi berjalan yang masih tinggi, yakni 24 miliar dollar AS pada tahun 2012 dan 30 miliar dollar AS pada tahun 2013.