Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengusaha Muda Ini Berdayakan Difabel sebagai Karyawannya

Kompas.com - 27/01/2014, 14:54 WIB
Estu Suryowati

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Dea Valencia tak pernah mengira dirinya mendapatkan lebih dari keinginannya dalam mengoleksi batik tradisional Indonesia. Pengusaha muda lulusan Universitas Multimedia Nusantara Tangerang itu kini memiliki 36 orang pekerja.

Menariknya, mayoritas dari karyawannya adalah orang-orang penyandang keterbatasan fisik (difabel). Melalui bendera usahanya, Batik Kultur by Dea Valencia, dia mulai menjalankan bisnis sejak tiga tahun yang lalu tatkala Dea menginjak semester 4.

Kepada Kompas.com, Minggu (26/1/2014) lalu, ia berbagi cerita awal mula usahanya itu. "Sebelumnya tidak ada background membatik ataupun keluarga yang memiliki usaha batik. Saya memilih usaha ini karena hobi dan kecintaan saya terhadap batik Indonesia, yang ditularkan dari ibu saya. Dan juga, keinginan saya untuk mengoleksi batik yang bagus-bagus, tapi enggak ada uangnya," kata Dea mengawali ceritanya.

Lantaran tak memiliki keahlian membatik sebelumnya, Dea mengaku belajar sambil praktik. Bengkel batik Dea berlokasi di Semarang, Jawa Tengah. Saat ini, ia tengah menyiapkan pembangunan butiknya. Batik-batik Dea dibanderol mulai dari Rp 250.000 hingga Rp 1 juta.

"Mayoritas produk (harganya) Rp 400.000-Rp 600.000," imbuhnya. Batik-batik Dea dipasarkan melalui media online, juga pameran dagang, baik dalam maupun luar negeri, baik pribadi maupun dukungan pemerintah, seperti dari Kementerian Perdagangan dan Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas).

Pelanggannya saat ini tersebar di seluruh Indonesia maupun luar negeri dengan mayoritas pembeli dari Jakarta untuk Indonesia. Untuk luar negeri, jangkauannya sudah sampai Australia, Amerika Serikat, Inggris, Norwegia, Jepang, Belanda, Jerman, dan banyak negara lainnya.

Lewat media tulisan

Saat memulai usahanya itu, Dea hanya bermodalkan sekitar Rp 50 juta. Kini, setiap bulan ia mampu memproduksi sekira 800 potong pakaian batik. Upah karyawannya dihitung dengan sistem harian dan dibayarkan setiap bulan.

"Hingga saat ini kami telah mempekerjakan 36 karyawan, kebanyakan warga sekitar maupun jebolan dari LPATR (Lembaga Pendidikan Anak Tuna Rungu) kejuruan jahit. Ada juga beberapa anggota kami yang lulusan RC Jebres, Solo," sambungnya.

Mempekerjakan tunarungu menjadi cerita sendiri bagi perjalanan usaha Dea. Terlebih lagi, para tunarungu itu bekerja di bagian jahit dan potong, meskipun kebanyakan dari mereka adalah lulusan kejuruan jahit.

"Memang awalnya merupakan tantangan bagi saya. Namun, dengan melakukan beberapa penyesuaian dalam proses pengerjaan, kami dapat mengatasi masalah komunikasi dengan memperbanyak komunikasi melalui media tulisan," jelas Dea.

Tak pernah menunda pekerjaan

Bagi Dea, bekerja dan berkomunikasi dengan penyandang disabilitas, seperti Sriwati, Tumisih, Nikmah, dan Ari memberikan banyak sekali inspirasi. Ia pun mengaku takjub dengan semangat para pekerjanya itu.

"Terkadang, kita manusia yang dilahirkan tanpa kekurangan fisik masih suka mengeluh, bikin-bikin alasan, menunda-tunda. Bahkan, saya pun sekarang tanpa sengaja masih kerap melakukannya dengan alasan banyaknya pekerjaan. Ha-ha-ha," aku Dea.

"Tapi, untuk hal utama yang saya dapatkan dari mereka adalah semangat ketekunan dan semangat 'harus bisa'," imbuhnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com