Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 19/02/2014, 09:33 WIB

KOMPAS.com - Kuasai minyak, maka engkau akan menguasai bangsa- bangsa. Kuasai pangan, maka engkau akan menguasai rakyat. Demikian lebih kurang kalimat Henry Kissinger, penasihat keamanan nasional di era Presiden Amerika Serikat Richard Nixon.

Pangan adalah bahan bakar tubuh manusia. Tanpa pangan, manusia tak akan mampu beraktivitas dan akhirnya mati. Demikian pula minyak atau selanjutnya disebut energi pada konteks tubuh kegiatan ekonomi modern. Tanpa energi, kegiatan ekonomi akan lumpuh dan akhirnya juga akan mati.

Pangan dan energi tak sekadar isu ekonomi, tetapi juga isu politik dan sosial. Bahkan, di zaman modern ini, keduanya berkorelasi erat dengan isu keamanan nasional. Jauh-jauh hari, Henry Kissinger telah mengingatkannya.

Pangan dan energi akan menjadi isu yang semakin krusial pada masa depan seiring peningkatan permintaan karena jumlah populasi bertambah. Persoalannya berpangkal pada permintaan yang jauh melampaui pasokan.

Resep paling gampang dan instan untuk menutup kekurangan pasokan adalah impor. Pemerintah sudah melakukannya. Dalam jangka pendek, resep ini mujarab. Namun, efek sampingnya juga berat.

Besarnya impor bahan bakar minyak (BBM), misalnya, menjadi penyumbang defisit transaksi berjalan per triwulan II-2013 yang mencapai 9,8 miliar dollar AS atau 4,4 persen terhadap produk domestik bruto. Nilai rupiah pun melemah.

Impor pangan pun setali tiga uang. Impor menutupi kekurangan pasokan, tetapi membuat petani semakin enggan menanam karena harga tidak menarik. Impor pangan akhirnya menjadi langkah parsial menutupi kegagalan agenda komprehensif pemerintah dalam mengendalikan inflasi. Sebut saja, misalnya, buruknya infrastruktur.

Pada tahun 2035, penduduk Indonesia diproyeksikan 305,6 juta jiwa. Meningkat 28 persen dibandingkan tahun ini. Permintaan pangan dan energi meroket. Pada konteks inilah, persoalan pangan dan energi semakin mengkhawatirkan sebab pasokannya pada hari ini justru menunjukkan tren sebaliknya.

Mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), permintaan energi final masa mendatang akan naik hampir tiga kali lipat tahun 2030. BBM masih mendominasi dengan porsi sebesar 31,1 persen.

Sementara produksi minyak siap jual selama beberapa tahun belakangan terus merosot. Pada saat yang sama, usaha mendorong energi alternatif pun mati angin karena harga BBM bersubsidi jauh lebih murah.

Sementara laporan Program Pangan Dunia (World Food Program), laju peningkatan kebutuhan pangan di Indonesia lebih cepat dibandingkan kemampuan produksi. Ini disebabkan terbatasnya kemampuan produksi, penurunan kapasitas kelembagaan petani, dan kualitas penyuluhan pertanian.

Konversi lahan pertanian terus berlanjut. Kualitas dan kesuburan lahan terus menurun akibat kerusakan lingkungan. Ketersediaan air untuk produksi semakin terbatas.

Pangan dan energi bukan isu main-main. Namun, jika pemerintah tidak serius, Indonesia akan menjadi mainan banyak pihak lainnya. (FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com