Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dirjen Bea Cukai Bakal Tagih Kekurangan Tarif Cukai Rokok

Kompas.com - 19/02/2014, 10:56 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com
- Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan menyatakan, sejauh ini baru sebagian perusahaan rokok yang secara sukarela mendaftarkan adanya hubungan keterkaitan dengan perusahaan rokok lainnya.

Namun DJBC mengaku akan tegas melaksanakan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 131 tahun 2013, soal hubungan keterkaitan ini dengan terus melakukan penyelidikan.

Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Kementerian Keuangan Susiwijono Moegiarso memastikan, PMK tersebut sudah diimplementasikan sejak diterbitkan akhir tahun lalu.

"Jika ada yang belum secara sukarela mendaftar atau menyerahkan laporan, kami bisa melakukan penyelidikan. Jika di tengah jalan ditemukan ada hubungan keterkaitan, kami akan tarik mundur (pengenaan tarif), sejak dipastikan ada hubungan keterkaitan," ujar Susiwijono, Selasa (18/2/2014).

Penetapan adanya hubungan keterkaitan antarperusahaan rokok, penting untuk menentukan kelas dari sebuah perusahaan rokok yang ujungnya ke penentuan penggolongan tarif cukai. Dengan PMK ini, DJBC menghitung akan ada potensi kenaikan penerimaan negara dari cukai rokok.

"Kami yakin perusahaan akan berpikir beberapa kali untuk tak menyatakan adanya hubungan keterkaitan dengan perusahaan rokok lainnya. Ini karena akan ada beban di depan yang akan ditagih dari kekurangan tarif yang mereka bayarkan. Jadi potensi penerimaan dari PMK ini bisa diamankan," tuturnya.

Berdasarkan data yang ada di DJBC, saat ini ada sekitar 1.130 perusahaan rokok yang terdaftar. Dari jumlah itu, saat ini ada hingga 7 perusahaan rokok yang masuk dan ditetapkan dalam golongan I (skala besar), di antaranya PT HM Sampoerna, PT Gudang Garam PT Djarum dan PT Nodjorono Kudus.

"Kalau untuk perusahaan rokok terbuka (Tbk), gampang menyelidikinya. Toh bisa dilihat dari laporan keuangannya. Tapi tanpa itu, mereka kebanyakan sudah secara sukarela mendaftar," katanya.

Untuk diketahui PMK ini merupakan revisi dari PMK nomor 78 tahun 2013. Jika aturan revisi ini bisa dijalankan, ia optimistis penerimaan cukai rokok tahun ini bisa tumbuh 10 persen di banding tahun lalu. Di tahun 2014 sendiri, target penerimaan cukai dinaikan Rp 11,7 triliun dari Rp 104,7 triliun di tahun ini menjadi Rp 116,3 triliun di tahun depan. Sekitar 95 persen dari target tersebut berasal dari cukai rokok.

Dihubungi terpisah, Anggota Komisi XI dari Fraksi PDI-P Dolfie OFP menuturkan, pemerintah memang harus tegas mengimplementasikan PMK yang dibuatnya sendiri. Ini demi memastikan adanya tambahan penerimaan negara dari sektor cukai.

"Kalau skenario yang dilakukan tidak berjalan, target peneriman cukai bisa tak tercapai. Tapi PMK dibuat tanpa konsekuensi untuk apa? Pemerintah harus tegas, jika memang ada hubungan keterkaitan dan naik golongan, harus ditetapkan kenaikan tarif cukainya," ucapnya.

Sebelum PMK ini terbit, sejatinya sudah ada PMK Nomor 191/PMK.04/2010 mengenai Hubungan Istimewa Perusahaan Rokok mulai tanggal 23 November 2012. Beleid ini terbit lantaran produsen rokok kerap mengakali pengenaan besaran cukai dengan memecah perusahaannya menjadi perusahaan-perusahaan kecil.

Misalnya satu perusahaan tidak boleh (produksi) lebih dari 100 ribu batang atau harus membayar cukai lebih besar karena gologannya naik. Tapi agar bisa produksi lebih dengan cukai yang murah, akhirnya suatu perusahaan membuat perusahaan A, B atau C seterusnya.

"Dengan PMK baru ini intinya layering atau grading penggolongan Pabrik Rokok untuk dasar penetapan tarif cukai rokok, benar-benar akan diterapkan sesuai total volume produksi dari tiap Perusahaan, termasuk anak perusahaan atau yang terafiliasi," kata Susiwijono. (Sanusi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com