Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mungkinkah Krisis 1997 Kembali Terulang?

Kompas.com - 24/02/2014, 21:09 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com -
Perlahan tapi pasti, dana asing yang selama ini menjadi uang panas di pasar keuangan dalam negeri mulai keluar. Hal ini ditakuti bisa menyebabkan krisis keuangan seperti era 1997-1998 kembali terulang.

Tapi tenang, kemungkinan terulangnya krisis yang juga membuat rezim Soeharto lengser sangat kecil peluangnya. Setidaknya, hal ini disampaikan Lukman Leong, Chief Analyst Platon Niaga Berjangka melalui risetnya yang diterima KONTAN, (24/2/2014).

"Negara-negara emerging market khususnya Indonesia telah belajar dari kondisi saat itu, sehingga sangat kecil kemungkinan membuat krisis kembali terulang," jelas Lukman.

Menurutnya, fundamental negara berkembang periode saat ini jauh lebih kuat dibanding sebelumnya.  Contoh, Indonesia saat krisis moneter 1997 hanya punya cadangan devisa 17 miliar dollar AS. Sedangkan saat ini, posisinya Indonesia memiliki cadangan devisa 99 miliar dollar AS.

Namun begitu, Lukman bilang, cadangan devisa itu tak seiring dengan tingkat inflasi Indonesia. Jika tahun 1996 lalu inflasi sebesar 7,9 persen, saat ini angkanya mencapai 8,4 persen. Satu lain yang wajib dicermati adalah, defisit current account yang melebar.

Jika tahun 1996, defisit current account tercatat di posisi 3,2 persen dari gross domestik product (GDP), saat ini tercatat 3,9 persen dari GDP. Namun, kata Lukman, defisit current account yang melebar terjadi karena adanya dana asing yang keluar secara serempak karena kepanikan.

Ia bilang, dana asing yang ke luar dari Indonesia itu bukan karena faktor fundamental. Melebarnya spread pada bond di emerging market juga keran kekhawatiran sesaat akan berkurangnya likuiditas global oleh penarikan stimulus the Fed.

Indonesia menurut Lukman, memang masih tertekan ekspektasi quantitative easing (QE), dan seberapa jauh hal ini tergantung perkembangan ekonomi di AS. Lukman menilai, beberapa tahun sebelumnya, pasar modal Indonesia naik terlalu drastis, sehingga ia menilai wajar jika ada koreksi.

"Butuh suatu hal yang benar-benar di luar analisa yang bisa membuat krisis kembali terjadi," kata Lukman. (Dityasa H Forddanta)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com