Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akibat Eksploitasi SDA, Kerugian Ekologi Kaltim Capai Rp 6,3 Triliun

Kompas.com - 14/03/2014, 13:39 WIB
Kontributor Balikpapan, Dani Julius

Penulis


BALIKPAPAN, KOMPAS.com – Kerugian atas kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam oleh industri harus ada yang bertanggung jawab. Kepala Peneliti SDA asal Universitas Negeri Mulawarman, Dr. Bernaulus Saragih, M.Sc, PHd, mengungkapkan hal ini ke para peserta Rapat Koordinasi Pembahasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) BLH seluruh Kalimantan untuk 2015 – 2019 di Hotel Novotel di Balikpapan, Kalimantan Timur, Kamis (13/3/2014) kemarin.

Bernaulus mengatakan, jumlah kerugian lingkungan terbilang fantastis. Studi yang digagasnya menunjukkan kerugian ekologi mencapai Rp 6,3 triliun per tahun. Penduduk Kaltim 3,6 juta jiwa dan sepertiganya setidaknya merasakan dampak atas kerusakan lingkungan akibat eksploitasi SDA ini.

Bernaulus merupakan salah satu pakar lingkungan Kalimantan yang dihadirkan ke rakor para BLH se-Kalimantan. “Penelitian ini dilakukan dari 2010 sampai 2013. Silahkan saja dibagi dengan 1,2 juta warga Kaltim yang terkena dampak itu, berapa keluarga yang merasakan. Seharusnya poluter pays prinsiple, yang mengeksploitasi yang memperbaiki dampak,” kata Bernaulus.

Kerugian paling mendasar, kata Bernaulus, berupa lompatan perubahan budaya dalam masyarakat akibat dalam masifnya eksploitasi SDA daa tempo singkat. Masyarakat yang lebih dulu ada paling merasa dampaknya. Ia mencontohkan, terjadi banjir di mana-mana di Kaltim.

Salah satu yang terparah adalah di ibukota provinsi Kaltim. Warga mesti menderita genangan tiap kali hujan. Jalan raya tidak berkembang pesat. Belum lagi jalanan diperparah kerusakan akibat aktivitas eksploitasi melintas pemukiman dan kota.  Masyarakat pedalaman dan pesisir mulai kesulitan mencari nafkah akibat meningkatnya biaya.

Bernaulus mengungkapkan, air sungai mengeruh, terjadi pendangkalan dan sedimentasi di sana sini, hingga kemacetan yang tidak bisa terurai dengan cepat. Semula, ribuan warga di sejumlah 1.417 desa di sepanjang sungai Mahakam, sejumlah 80 persen mengandalkan air dari sungai sebelum penambang dan lainnya mengeksploitasi SDA Kaltim. Kini perubahan terjadi, dimana air justru tidak lagi air gratis didapatkan. Warga harus bersusah payah mendapatkan air bersih.

“Beli air tangki. Beli tandon dan galon. Siapa yang mestinya harus membayar ini,” kata Bernaulus.

Pemerintah pusat dan daerah dinilai belum tertarik dengan kerugian ekologis akibat pertumbuhan eksploitasi SDA di Kaltim. Pemerintah terkesan hanya puas atas dana bagi hasil atas produksi eksploitasi SDA yang ada. Pemerintah seharusnya memasukkan dampak atas eksploitasi itu dalam dana bagi hasil dan perimbangannya.

“Jadi masukan ke Kementrian LH yakni harus diperjuangkan agar ekternalitas dimasukkan dalam perhitungan bagi hasil dana perimbangan SDA dan alokasi khusus,” kata Bernaulus.

Kini, nyaris menyentuh 80 persen luasan Kalimantan telah memiliki memiliki izin eksploitasi. Bernaulus mengatakan, pemerintah mesti mengendalikan perizinan itu bila tidak ingin dampak kerugian ekologis semakin dirasakan masyarakat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com