Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jokowi dan Tuntutan Ekonomi

Kompas.com - 20/03/2014, 09:08 WIB
Estu Suryowati

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Saat ini masyarakat dinilai akan lebih memilih sosok yang dianggap bersih, ketimbang yang bisa menjawab tuntutan ekonomi. Atas dasar inilah, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Kuskridho Ambardi menilai popularitas Joko Widodo terus merangkak naik. Meski diakuinya, bukan berarti masyarakat sudah tidak terbebani problem ekonomi.

"Dari dulu persoalan mendesak itu ekonomi, harga bahan pokok tinggi, sulit mencari pekerjaan. Dan oleh karena itu, pemimpin yang paling bagus adalah yang bisa menjawabnya," kata Dodi dalam sebuah diskusi, di Jakarta, Rabu (19/3/2014).

"Tapi permasalahan mendesak itu, dua, tiga bulan terakhir ini tergantikan. Pertama, korupsi. Kedua, barulah ekonomi," lanjutnya.

Menurut akademisi Universitas Gadjah Mada tersebut, ada pergeseran concern di masyarakat, dari persoalan ekonomi ke persoalan korupsi. Masyarakat melihat, Jokowi mewakili sosok yang dianggap bersih atau relatif bersih dari korupsi.

"Sejauh ini Jokowi dicitrakan sebagai orang yang relatif bersih. Itu salah satu faktor yang bisa menjelaskan kenapa Jokowi terus naik," katanya.

"Kita masuk ke ranah agak spekulatif, kalau terpilih, kira-kira kebijakan macam apa yang akan diambil Jokowi?" kata dia lagi.

Ia mengatakan, ada tiga hal yang akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan Jokowi. Pertama, soal sejarah Jokowi. Sejarahnya, Jokowi bukan dari keluarga politik. Dia tidak berasal dari jaringan patronase politik. Saat menjadi walikota Surakarta, Jokowi tidak memiliki blueprint. Namun, dari proses belajar dia bisa mengajukan konsep kartu sehat dan kartu pintar, yang akhirnya disetujui.

"Pada saat yang sama dia belajar dari apa yang dilakukan dan direspon publik. Dia punya sesuatu yang diyakininya dan dilakoninya," terang Dodi.

Faktor kedua yang mempengaruhi pengambilan keputusan adalah Megawati atau PDI-P. "PDI-P ini dia punya brand dan citra tertentu, apa kebijakan yang akan diambil kalau menguasai kursi di parlemen," sebutnya.

Adapun faktor ketiga adalah fragmentasi di DPR. Dodi menilai, faktor ini akan sedikit mengganggu Jokowi. Berkaca dari pengalaman SBY, di mana ternyata kursi terbesar tidak bisa menyatukan suara dalam mengambil sebuah keputusan, maka dia perpendapat, nantinya Jokowi harus bisa negosiasi dengan parlemen.

"Tingkat fragmentasi di parlemen membuat kebijakan itu menjadi muda, atau sulit," ujarnya.

Terkait dengan isu ekonomi, Dodi menilai, jika Jokowi terpilih menjadi presiden, maka dia akan cenderung memperkuat peran maksimal pemerintah dalam ekonomi. Sementara itu, terkait dengan isu otonomi daerah, Jokowi dinilai cenderung menarik kembali kewenangan daerah yang menyebabkan otonomi kebablasan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com