Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesenjangan Pendapatan Makin Lebar

Kompas.com - 03/04/2014, 07:18 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kaku belum menciptakan pemerataan kesejahteraan akibat haluan kebijakan yang didikte kekuatan pasar. Pembangunan industri manufaktur dan pertanian yang stagnan membuat kesenjangan pendapatan melebar.

Demikian benang merah laporan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) bertajuk Kebijakan Ekonomi 5 Tahun Mendatang: Merebut Momentum, Membalik Keadaan, yang diluncurkan di Jakarta, Rabu (2/4/2014). Laporan ini diluncurkan Direktur Indef Enny Sri Hartati serta pendiri Indef, Didin S Damanhuri, Muhammad Fadhil Hasan, dan Didik J Rachbini.

Laporan ini mengevaluasi kinerja perekonomian 10 tahun terakhir yang disertai analisis peluang dan momentum menggunakan 10 indikator. Hasilnya, rasio gini mencapai 0,413 yang bermakna kesenjangan melebar karena penciptaan lapangan kerja oleh industri berorientasi ekspor, seperti manufaktur dan pertanian, stagnan.

Selain rasio gini, indikator yang diukur antara lain kerapuhan pertumbuhan ekonomi, kelambanan penurunan tingkat pengangguran terbuka, penurunan nilai tukar petani dari 117 pada 2004 menjadi 107 pada 2013, dominasi pekerja informal di pasar kerja (59,58 persen), inefisiensi anggaran, dan defisit neraca perdagangan.

”Pemilu adalah momentum memperbaiki keadaan. Pertumbuhan ekonomi tidak berkualitas karena meski tingkat pengangguran berkurang, jumlah orang miskin tidak turun signifikan sehingga kesenjangan terus melebar,” kata Fadhil.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ada 28,55 juta penduduk miskin yang tersebar di kota dan desa pada September 2013. Mereka berpenghasilan Rp 292.951 per kapita per bulan.

Provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi adalah Jawa Timur (4,86 juta jiwa), Jawa Tengah (4,7 juta jiwa), dan Jawa Barat (4,38 juta jiwa). Adapun di luar Pulau Jawa, Sumatera Utara memiliki penduduk miskin terbanyak (1,39 juta jiwa).

Di sisi pengangguran terbuka, sebanyak 7,39 juta orang dari 118,19 juta angkatan kerja pada Agustus 2013 masih menganggur. Masalah lain, 52 juta pekerja (46,9 persen) dari 110,8 juta orang yang bekerja masih berpendidikan SD ke bawah.

Didin mengungkapkan, strategi pembangunan dengan pendekatan produk domestik bruto (PDB) membuat investor lebih tertarik pada sektor bisnis tertentu. Didin mencontohkan, investasi properti di Papua, seperti hotel dan mal, lebih mudah mendapat kredit ketimbang perikanan.

”PDB yang tumbuh 5-6 persen diisi oleh sektor industri bukan penghasil barang berorientasi ekspor yang tidak sensitif terhadap penciptaan lapangan kerja,” katanya.

Menurut Didin, jumlah penduduk hampir miskin mencapai 125 juta orang. Pertumbuhan ekonomi 5,78 persen pada 2013 tidak banyak menolong mereka dengan pengeluaran 2 dollar AS (Rp 23.000) per hari.

Surplus sektor perkebunan

Enny mengatakan, selama 10 tahun terakhir, Indonesia kehilangan banyak momentum untuk menjadi lebih baik dalam hal ketahanan pangan dan energi. Peluang tersebut sebenarnya bisa terwujud jika pemerintah memiliki niat baik dan konsistensi kebijakan.

Kebutuhan komoditas pangan strategis, seperti beras, jagung, kedelai, dan daging, masih mengandalkan impor. Surplus perdagangan sektor pertanian hanya ada di perkebunan, terutama kelapa sawit. ”Mesti ada transformasi ke industri berbasis pertanian, seperti hilirisasi yang didukung kebijakan,” kata Enny.

Realitas kesenjangan pendapatan yang terus melebar cukup meresahkan kalangan pengusaha. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan, pemerintah harus melakukan upaya nyata untuk mempersempit kesenjangan pendapatan tersebut agar tidak muncul masalah sosial seperti di Tunisia dan Mesir yang rasio gini-nya mencapai 0,45.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com