Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bea Masuk Dihapus, Kakao Impor Akan Lebih Diminati?

Kompas.com - 15/04/2014, 16:49 WIB
Estu Suryowati

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com – Rencana pemerintah untuk melonggarkan importasi kakao dinilai janggal. Ketua Umum DPP Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Zulhefi Sikumbang menjelaskan, sejak industri hilir kakao tumbuh 2010, pengusaha sudah tahu bahwa produksi dalam negeri hanya sekitar 500.000 ton.

“Dan mereka juga tahu bea masuk impor dari dulu 5 persen. Sekarang siapa yang teriak untuk dijadikan nol? Saya pikir tidak semuanya teriak, hanya 1-2 saja mungkin, mereka susah dapat bahan baku,” ungkapnya dalam diskusi di AITIS 2014, di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Selasa (15/4/2014).

Lebih lanjut dia menyatakan, kekhawatiran seandainya bea masuk kakao dinolkan, maka pengusaha pengolahan coklat lebih memilih kakao impor. “Mendapatkannya gampang, kualitasnya bagus lagi,” aku Zulhefi.

“Yang saya khawatir, begitu keran impor dibuka, akan ada importir-importir buka gudang di Indonesia, mereka yang menyetok barang,” jelasnya lagi.

Zulhefi menyebutkan, sepanjang Januari-Desember 2013, Indonesia masih mengekspor 188.000 ton bijih kakao. Dengan produksi 500.000 ton saja, Indonesia masih bisa ekspor bijih kakao non fermentasi sebesar itu.

Dia khawatir nantinya semakin banyak yang diekspor untuk diolah di luar negeri. Menurutnya, sebelum pemerintah menggunakan instrumen bea masuk untuk mencukupi kebutuhan industri dalam negeri, seharusnya ekspor biji kakao bisa ditekan. Untuk ini pengenaan bea keluar sudah tepat, karena buktinya industri sudah tertarik untuk datang.

“(Tapi) Kenapa masih ada ekspor (biji kakao)? Berarti harga di luar masih lebih bagus daripada harga disini. Artinya, kenapa pabrik-pabrik masih membeli kakao dari petani dengan harga masih rendah? Ini kesalahan pabrik juga,” tutur Zulhefi.

Dia menilai, pemerintah tidak perlu menerapkan HPP kakao untuk melindungi harga di tingkat petani. Pengusaha pengolahan kakao harus mau membeli dengan harga lebih tinggi dari sebelumnya. “Kalau bisnis diaturkan negara, pengusaha jadi manja,” pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com