Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menakar Janji Perubahan Capres dari Pilihan Cawapresnya

Kompas.com - 16/04/2014, 08:14 WIB
                                           Rhenald Kasali
                                          @Rhenald_Kasali

Tak lama setelah mencalonkan diri sebagai capres, Obama yang menjanjikan perubahan memilih Joe Biden (kelahiran 1942, kini 72 tahun). Banyak orang bertanya, mengapa Obama (kelahiran 1961) tak memilih cawapresnya yang lebih muda? Bukankah Joe Biden jauh lebih tua dari Obama?

Dalam suatu kesempatan, Obama menyampaikan bahwa yang ia usung bukanlah perubahan kecil-kecilan, melainkan “a fundamental change” yang membutuhkan negosiator berpengalaman. Lagi pula, orang sekarang relatif panjang umur dan sehat. Bahkan di banyak kampus di Amerika Serikat, usia pensiun guru besar sudah ditiadakan.  

Pilihan pada Biden ternyata tepat. Satu per satu perlawanan yang dilakukan lawan-lawannya dari Partai Republik yang tak senang melihat prestasi Partai Demokrat berhasil ia patahkan secara sistematis, meski ia harus menghadapi pemblokiran anggaran yang memaksa kantor-kantor pemerintah tutup beberapa minggu. Cibiran juga tak kunjung habis, tetapi karya perubahan Obama berjalan terus.

Bagaimana Indonesia? Siapakah cawapres yang paling mampu menerjemahkan visi perubahan para capres yang sebentar lagi akan kita pilih? Akankah para capres masih memikirkan  janji-janji perubahan melalui pilihan terhadap calon wakilnya? Atau kembali pada janji-janji kosong sekadar bagi-bagi kekuasaan, memilih wakil yang lemah agar duduk manis di kursi jabatannya?

Perubahan butuh "booster"

Sejatinya, perubahan itu masih sangat dibutuhkan agar negeri ini mampu memenuhi janji konstitusi menjadikan Indonesia adil dan makmur. Sejatinya pula, ia penuh tantangan, kesulitan, hambatan, dan perlawanan.

Saat konversi minyak tanah terhadap elpiji dilakukan misalnya, Anda lihat sendiri, rakyat marah luar biasa. Dan itu di-entertain habis-habisan oleh media massa dan para politisi. Demikian pula saat warga yang tinggal di area Waduk Pluit akan digusur, luar biasa tantangannya. Itu baru perubahan kecil. Padahal, saat ini kita punya masalah lain yang jauh lebih besar.

Lebih dari 15,7 juta rumah tangga Indonesia saat ini belum memiliki rumah layak. Kendati kewirausahaan terus didengungkan, jangan lupa usaha yang tumbuh dominan sepuluh tahun terakhir ini adalah sektor informal yang jumlahnya melebihi 55 juta.

Di sisi lain, perekonomian kita masih sangat mengandalkan bahan mentah yang nilai tambahnya rendah dan harganya merosot terus. Infrastruktur, kendati mulai bergerak, masih kurang cepat. Rasa was-was masih menghantui pengusaha nasional menghadapi pasar bersama ASEAN tahun depan. Indonesia juga tengah menghadapi tekanan dari melemahnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok.

Lebih dari itu, birokrasi kita masih membutuhkan reformasi yang berotot untuk menegakkan pelayanan, pariwisata belum mampu mengimbangi dominasi Malaysia dan Thailand yang begitu digemari di pasar dunia. Dan tentu saja, korupsi di kalangan elite dan politik tak kunjung habis, melainkan tambah terus.

Belum lagi masalah ketidakadilan, kualitas pendidikan yang belum mampu menghasilkan lulusan  yang siap pakai, dan masalah subsidi yang tidak tepat sasaran tetapi menghanyutkan.  

Singkatnya, Indonesia masih punya banyak pekerjaan rumah yang membutuhkan perubahan besar-besaran. Saya katakan perubahan, karena uangnya ada, pasarnya kuat, SDM-nya berlimpah, tetapi hambatannya justru ada di dalam pemerintahan dan politik itu sendiri.

Saling mengunci, takut mengambil keputusan, saling memanfaatkan, dan mencari keuntungan, serta lemahnya koordinasi membuat bangsa ini terikat benang kusut yang dibuatnya sendiri.

Indonesia butuh pemimpin-pemimpin yang benar-benar mampu membawa negeri ini keluar dari perangkap-perangkap kenyamanannya yang bisa berakibat fatal. Pemimpin itu bukanlah sekadar pemberi janji kosong, namun benar-benar bekerja secara sistematis, bertahap, terukur, dan berani menghadapi serangan-serangan politik yang diembuskan lawan-lawannya. Dan lawan-lawan itu ada di antara para elite politik itu sendiri.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com