"Kita menunggu arah kebijakan baru," ujar Kepala Sub Bagian Organisasi Ditjen Pajak, Kemenkeu, Bora Darussalam, saat ditanya mengenai wacana pemisahan DJP dari Kemenkeu, di Sukabumi, Senin (12/5/2014).
"Formatnya seperti apa, bukan posisi DJP yang menentukan kewenangan," ucapnya.
Sejauh ini, terang Bora, dalam menjalankan fungsi utamanya, DJP, Kemenkau, merasa masih memiliki banyak keterbatasan fungsi pendukung. Dia menyebut, fungsi pendukung terdiri atas kewenangan dalam sumber daya manusia (SDM), organisasi, serta keuangan.
Akibat keterbatasan ini, lanjutnya, DJP jarang mencapai target peneriman pajak. Padahal, lanjut Bora, ongkos memelihara negara mayoritas didukung dari penerimaan pajak. "Di beberapa negara kewenangan otoritas perpajakan cukup besar, SDM, organisasi, dan keuangan," kata dia.
Dia menuturkan, dari sembilan kewenangan yang dibandingkan, Indonesia hanya mempunyai dua kewenangan. Bora menerangkan, pentingnya mencapai target penerimaan pajak.
Dalam APBN-P 2013, kontribusi atau porsi dari peneriman pajak sebesar 76 persen, terbagi menjadi 66 persen pajak, dan sisanya penerimaan lain termasuk cukai. Sementara itu, dalam APBN 2014 pajak menyumbang 66,6 persen, dan sisanya dari peneriman lainnya.
Sayangnya, besarnya kontribusi ini tidak diimbangi dengan fungsi pendukung. Meski separoh dari karyawan Kementerian Keuangan ada di DJP, namun hal tersebut masih dirasa kurang untuk melayani sekitar 33.000 wajib pajak.
Bora memaparkan, DJP hanya memiliki 4 kantor pelayanan pajak (KPP) WP besar, 28 KPP madya, serta 299 KPP pratama. Sedangkan kantor pelayanan, penyulusan, dan konsultasi pajak, hanya 207 unit KP. "Padahal fungsi penyuluh ini sangat dibutuhkan oleh WP," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.