Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bila Sabar, Indonesia Bisa Ambil Alih 100 Persen Saham Freeport

Kompas.com - 12/06/2014, 11:35 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Upaya Pemerintah Indonesia meminta jatah total 30 persen saham PT Freeport Indonesia hingga 2021 masih bisa mengundang perdebatan hebat. Intinya adalah apakah penetapan basis nilai akuisisi yang diproyeksikan mencapai 1,7 miliar dollar AS, sepadan dengan sisa 20,64 persen saham dari anak usaha tambang emas terbesar di dunia tersebut.

Ketua Working Group Kebijakan Pertambangan Perhimpunan Ahli Pertambangan (Perhapi) Budi Santoso berpendapat, kesediaan pemerintah masih cacat logika jika menerima divestasi Freeport Indonesia dengan total 30 persen saham. Seharusnya pemerintah tidak perlu repot mengeluarkan uang 1,7 miliar dollar AS untuk akuisisi 20,64 persen saham.

Bila pemerintah sedikit bersabar hingga 2021, justru bisa memperoleh kepemilikan hingga 100 persen. "Pada 2021, kontrak Freeport habis. Mereka 0 persen, dan Indonesia punya 100 persen. Barulah mulai berhitung aset yang ditinggalkan," kata dia kepada Kontan, Selasa (10/6/2014).

Dia menambahkan, selama kontrak karya (KK) Freeport mulai 1967 dan diperbarui 1991, tidak banyak kontribusi yang ada dalam ekonomi Indonesia.

Karena itu, pemerintah harus tegas menghentikan proses renegosiasi dan selanjutnya menghentikan kontrak tersebut pada 2021. Ada tiga alasan mengapa pemerintah perlu menghentikan kontrak.

Pertama, Freeport telah menghina perundangan yang ada karena tidak mau membayar royalti 3,75 persen yang telah diberlakukan sejak 2003.

Kedua, perusahaan ini gagal memenuhi kewajiban mengolah dan memurnikan mineral, dan hanya mampu memurnikan mineral sebanyak 40 persen dari total produksi. "Pembangunan smelter kewajiban mereka. Kelalaian terlambat membangun kok dikaitkan dengan perpanjangan kontrak," ujar dia.

Ketiga, soal investasi tambang bawah tanah senilai 15 miliar dollar AS hanyalah strategi Freeport agar tetap bertahan di Indonesia. Padahal, investasi yang dikeluarkan tidak secara langsung, tetapi bertahap dengan jumlah sekitar 1 miliar dollar AS per tahun.

Bahkan, investasi tersebut diambil dari keuntungan Freeport selama beroperasi di Indonesia. Dengan begitu, pemerintah selaku pemilik 9,36 persen saham sejatinya telah berinvestasi, tidak hanya Freeport. "Bukti, selama dua tahun ini, ketika Freeport mulai menggenjot investasi tambang bawah tanah, Indonesia tidak memperoleh bagian dividen," kata dia.

Mau beli, siapkan dana

Untuk itulah, Perhapi berupaya menggagalkan rencana pemerintah menggelar nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) dengan Freeport.

Sebaliknya, pengamat tambang, Priyo Pribadi, menilai, 20,76 persen saham Freeport bernilai 1,7 miliar dollar AS layak untuk Indonesia jika melihat hasil yang bakal diraup oleh Freeport hingga 2041. Yang menjadi persoalan adalah justru kesiapan pemerintah untuk mengumpulkan dana pembelian saham tersebut.

"Jangan sampai pemerintah ataupun perusahaan tak punya uang untuk membeli saham Freeport. Bisa pakai obligasi atau dana pinjaman," katanya kepada Kontan.

Ia meyakinkan, harga tersebut memang layak untuk Indonesia karena Freeport memiliki cadangan yang belum habis hingga 2041. Nah, soal harga satuan sahamnya, ia menyarankan supaya pemerintah atau perusahaan yang berniat membeli bisa menawar harga saham.

Mumpung masih ada waktu, ada baiknya pihak yang ingin membeli sebagian saham Freeport lebih awal menyiapkan diri dengan baik untuk mencari dana. Jangan sampai lepas ke pihak lain. (Muhammad Yazid, Pratama Guitarra)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemenhub Tambah 10.000 Kuota Mudik Gratis 2024 Menggunakan Bus

Kemenhub Tambah 10.000 Kuota Mudik Gratis 2024 Menggunakan Bus

Whats New
CKB Logistics Optimalkan Bisnis Melalui Kargo Udara

CKB Logistics Optimalkan Bisnis Melalui Kargo Udara

Whats New
Angkutan Lebaran 2024, Kemenhub Siapkan Sarana dan Prasarana Transportasi Umum

Angkutan Lebaran 2024, Kemenhub Siapkan Sarana dan Prasarana Transportasi Umum

Whats New
Reksadana Saham adalah Apa? Ini Pengertiannya

Reksadana Saham adalah Apa? Ini Pengertiannya

Work Smart
Menhub Imbau Maskapai Tak Jual Tiket Pesawat di Atas Tarif Batas Atas

Menhub Imbau Maskapai Tak Jual Tiket Pesawat di Atas Tarif Batas Atas

Whats New
Anak Usaha Kimia Farma Jadi Distributor Produk Cairan Infus Suryavena

Anak Usaha Kimia Farma Jadi Distributor Produk Cairan Infus Suryavena

Whats New
Cara Cek Formasi CPNS dan PPPK 2024 di SSCASN

Cara Cek Formasi CPNS dan PPPK 2024 di SSCASN

Whats New
Pertamina Patra Niaga Apresiasi Polisi Ungkap Kasus BBM Dicampur Air di SPBU

Pertamina Patra Niaga Apresiasi Polisi Ungkap Kasus BBM Dicampur Air di SPBU

Whats New
HMSP Tambah Kemitraan dengan Pengusaha Daerah di Karanganyar untuk Produksi SKT

HMSP Tambah Kemitraan dengan Pengusaha Daerah di Karanganyar untuk Produksi SKT

Whats New
BCA Finance Buka Lowongan Kerja untuk D3-S1 Semua Jurusan, Cek Syaratnya

BCA Finance Buka Lowongan Kerja untuk D3-S1 Semua Jurusan, Cek Syaratnya

Work Smart
Pemerintah Sebut Tarif Listrik Seharusnya Naik pada April hingga Juni 2024

Pemerintah Sebut Tarif Listrik Seharusnya Naik pada April hingga Juni 2024

Whats New
Jasa Marga: 109.445 Kendaraan Tinggalkan Jabotabek Selama Libur Panjang Paskah 2024

Jasa Marga: 109.445 Kendaraan Tinggalkan Jabotabek Selama Libur Panjang Paskah 2024

Whats New
Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Earn Smart
7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

Whats New
'Regulatory Sandbox' Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

"Regulatory Sandbox" Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com