Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tugas Berat Pemerintahan Baru

Kompas.com - 07/08/2014, 15:16 WIB

SAMBIL menunggu proses akhir pemilihan presiden di tingkat Mahkamah Konstitusi, ada baiknya kita mencoba menginventarisasikan isu-isu strategis apa saja yang bakal menjadi tugas berat pemerintahan presiden terpilih nanti.

Ujian pertama bagi pemerintahan baru bisa disebut sudah dilalui dengan baik. Indikasinya, pasar menyambut antusias dengan penguatan rupiah (Rp 11.500-an per dollar AS) dan Indeks Harga Saham Gabungan (di atas 5.000). Sentimen positif ini hendaknya terus dipertahankan, melalui pembentukan kabinet yang tidak saja mencerminkan kapasitas intelektual para menteri, tetapi juga dilengkapi integritas dan kemauan untuk bekerja keras dan bertindak sebagai ”pelayan” publik.

Jika presiden terpilih sampai tergelincir menyusun kabinet dengan basis sekadar membagi-bagi jatah bagi koalisi politiknya sehingga cenderung mengabaikan aspek kompetensi, seperti terjadi pada kabinet sebelumnya, pasar akan segera menghukumnya. Rupiah dan IHSG pun akan berhenti berakselerasi, sementara arus modal masuk (capital inflow) pun akan berubah menjadi capital outflow. Ini tentu tidak boleh terjadi.

Tujuh isu strategis

Berikut tujuh isu strategis bagi pemerintah baru. Pertama, subsidi energi. Tahun ini subsidi energi (BBM dan listrik) akan mencapai Rp 350 triliun, terdiri dari subsidi BBM Rp 246,49 triliun dan subsidi listrik Rp 103,82 triliun. Ini jelas berlebihan karena volume APBN sekitar Rp 1.877 triliun. Itu berarti subsidi energi mencapai hampir 19 persen dari seluruh belanja negara. Ini tak masuk akal. Bahkan biaya penyelenggaraan Piala Dunia sepak bola di Brasil 2014 ”hanya” sekitar 15 miliar dollar AS (sekitar Rp 170 triliun), termasuk membikin baru dan merenovasi 12 stadion serta membangun infrastruktur (data Bloomberg dan Forbes). Dengan kata lain, subsidi energi kita bisa untuk penyelenggaraan dua kali Piala Dunia!

Terlalu besarnya subsidi energi ini menimbulkan dua implikasi negatif. Pertama, tak memberi ruang gerak fiskal untuk mengalokasikannya ke kegiatan lain yang produktif, misalnya membangun infrastruktur. Kedua, pengelolaan fiskal dan makroprudensial dipersepsikan buruk oleh investor asing. Imbasnya, akan menurunkan peringkat kredit obligasi pemerintah. Karena itu, tugas berat pertama presiden terpilih menghentikan ”kegilaan” ini dengan menaikkan harga BBM.

Beranikah dia melakukannya, dan kapan waktu yang tepat? Mungkin agak sulit melakukannya pada tahun ini. Biarkan 2014 berakhir dengan inflasi rendah, 5-6 persen. Kenaikan harga BBM bisa dilakukan pada saat bulan-bulan yang inflasinya rendah, yakni Maret-April 2015, agar dampak negatif inflasinya bisa diminimalkan. Harga BBM bersubsidi bisa dinaikkan dari Rp 6.500 ke Rp 8.000-Rp 8.500 per liter, untuk secara bertahap mendekati harga keekonomian Rp 11.000 per liter.

Namun, menaikkan harga BBM saja sesungguhnya belum menuntaskan masalah. Masih ada problem ketidakadilan karena salah sasaran (misallocation of resources) dalam distribusi BBM bersubsidi. Cara yang cukup radikal adalah melarang para pemilik mobil pribadi mengisi tangkinya dengan BBM bersubsidi. Hanya sepeda motor dan angkutan umum yang diizinkan menggunakan BBM bersubsidi. Kebijakan ini akan mendorong masyarakat memilih kendaraan hemat energi.

Kedua, akselerasi pembangunan infrastruktur. Joko Widodo sebagai presiden terpilih beruntung punya pengalaman dalam menangani isu ini. Sebagai Gubernur DKI, dialah orang yang berhasil memulai proyek mass rapid transit, yang selama ini mengalami kebekuan dalam beberapa periode gubernur sebelumnya. Sayang, dia belum sempat berhasil mengeksekusi proyek monorel yang kini masih berlanjut pertikaiannya. Selanjutnya, sesuai visinya tentang negara maritim, dia harus membangun lebih banyak pelabuhan laut. Di sepanjang pantai utara Jawa, perlu ada sebuah pelabuhan di setiap 100 kilometer. Jadi, paling tidak harus ada tujuh pelabuhan terbentang antara Jakarta dan Surabaya, yang panjangnya 727 kilometer.

Ide Jokowi tentang perlunya kapal-kapal besar untuk menurunkan biaya logistik sangat menarik. Biaya kontainer rute Jakarta-Papua lebih mahal daripada Jakarta-Los Angeles karena skala ekonomis (economies of scale). Kapal rute Jakarta-LA menggunakan kapal besar, sedangkan Jakarta-Papua kapalnya kecil. Penggunaan kapal besar jauh lebih efisien. Masalahnya, bagaimana membuat rute Jakarta-Papua lebih efisien dengan kapal besar? Investasi besar dan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi (sehingga permintaan naik) akan menjadi kuncinya.

Pelabuhan udara juga harus terus didorong. Pada era Yudhoyono telah dibangun dan direnovasi Bandar Udara Kuala Namu, Hasanuddin, Juanda, dan Ngurah Rai. Ini pun masih belum cukup. Pada era pemerintahan baru nanti harus lebih banyak lagi bandara berstandar internasional dibangun, apalagi kita berupaya menarik lebih banyak turis asing, yang kini baru 8 juta orang. Angka ini kalah jauh dibandingkan dengan Malaysia (2013) yang bisa menarik 25,7 juta orang dan menghasilkan devisa 21 miliar dollar AS!

Ketiga, sudah banyak literatur yang menyebutkan daya saing Indonesia harus ditingkatkan untuk menghadapi kompetisi komunitas ASEAN sejak 1 Januari 2016. Selain infrastruktur, titik kritisnya terletak pada kualitas sumber daya manusia. Di ASEAN, ternyata Indonesia hanya nomor tiga sebagai negara pengirim anak-anak muda bersekolah di luar negeri (international student mobility).

Negara paling agresif Malaysia (54.000) dan Vietnam (48.000). Selanjutnya, Indonesia (34.000), Thailand (26.000), dan Singapura (20.000). Dengan catatan, penduduk Indonesia 250 juta, Vietnam (92 juta), Thailand (70 juta), Malaysia (30 juta), dan Singapura (6 juta). Jokowi harus mengulang kembali agresivitas mantan Presiden serta Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie yang dulu banyak mengirim mahasiswa merebut teknologi dari Amerika Serikat dan Eropa.

Keempat, sesuai janjinya, Jokowi sebagai presiden terpilih juga harus bisa mencetak minimal sejuta lahan pertanian tanaman pangan (padi). Proyek ini dulu pernah dilakukan Soeharto, tetapi kurang berhasil. Swasembada pangan—sebenarnya juga banyak komoditas lain—hanya bisa dilakukan melalui ekstensifikasi atau penambahan lahan. Program transmigrasi masih relevan dilanjutkan dalam rangka mendorong petani mengerjakan luas lahan yang menjamin tercapainya skala ekonomis, yakni batas luas minimum yang bisa menyebabkan petani berproduksi efisien, misalnya 2 hektar per petani.

Kelima, pengendalian penduduk. Sesudah era reformasi 1998, Indonesia cenderung lengah menangani isu ini. Bertambahnya penduduk memang bisa mendatangkan manfaat berupa ”bonus demografi”. Namun, itu bisa berbalik menjadi beban jika kita tidak bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Syarat untuk itu adalah pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen, sesuatu yang tidak pernah kita rasakan sejak krisis 1998. Tidak ada kompromi lagi, pertumbuhan penduduk maksimal harus di bawah 1 persen per tahun.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com