Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintahan Baru Diwarisi Bom Waktu

Kompas.com - 16/08/2014, 16:24 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com- Pemerintahan baru nanti bak mendapat warisan bom waktu. Sebab, gara-gara pemerintah sekarang tidak tegas mengurai dan memangkas beban subsidi bahan bakar minyak (BBM), anggaran Negara tahun depan nyaris melompong terkuras subsidi. Alhasil, modal membangun negara bagi pemerintahan baru minim saja

Gambaran tersebut tampak pada Nota Keuangan yang dibacakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Isinya, tidak ada kebjakan penting untuk mengurangi defisit anggaran yang sudah terlalu besar menanggung anggaran subsidi energi.

Jumat (15/8/2014), di hadapan DPR, presiden menyampaikan postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015 sebagai berikut: pendapatan Negara direncanakan Rp 1.762,29 triliun, naik 7,8 persen dari APBN Perubahan (APBN-P) 2014. Sedangkan belanja direncanakan Rp 2.019,86 triliun, naik 7,6 persen dari APBN-P 2014.

Alhasil, defisit anggaran dalam RAPBN 2015 menjadi Rp 257,57 triliun atau 2,32 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Besarnya defisit anggaran dalam RAPBN 2015 dipicu kenaikan alokasi untuk subsidi energi. Maklum, selain membayar subsidi 2015, RAPBN 2015 juga harus membayar subsidi bahan bakar minyak (BBM) tahun 2014 sebesar Rp 44 triliun.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menuturkan, target defisit anggaran 2015 di atas 2 persen dari PDB tergolong tinggi. Padahal, kata David, tahun depan masih banyak risiko global yang harus dihadapi Indonesia. 

Sejumlah risiko itu antara lain rencana Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang akan menaikkan suku bunga sehingga ekonomi Indonesia berisiko menghadapi keluarnya arus modal. Sementara di domestik, kata David, pada 2015 pemerintahan baru juga harus menghadapi besarnya defisit transaksi berjalan atau current account deficit. "Ini yang membuat beban pemerintah baru semakin besar," kata David, Jumat (15/8/2014).

Tingginya defisit neraca transaksi berjalan juga banyak disokong besarnya impor BBM. Salah satu solusi menekan defisit adalah menaikkan harga BBM bersubsidi.

Pilihan panas itulah yang harus dihadapi pemerintah baru. Padahal, pemerintah baru nanti baru membangun legitimasi dan dukungan rakyat. Celakanya, kenaikan harga BBM bisa menggerus kepercayaan rakyat tersebut.

Bisa berubah

Menteri Keuangan Chatib Basri menyatakan, asumsi pertumbuhan ekonomi tahun depan dipatok 5,6 persen, naik tipis dari target pertumbuhan tahun ini sebesar 5,5 persen. Alasannya, situasi global tahun depan belum sepenuhnya membaik.

Namun, semua plafon anggaran dan asumsi RAPBN 2015 yang disusun pemerintah SBY bisa berubah bila pemerintahan baru menghendaki. "Program baru akan dibuat pemerintahan baru,” tandas Chatib.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Chairul Tanjung mengusulkan, perubahan postur anggaran melalui APBN Perubahan di awal tahun 2015. Chairul menilai, kenaikan anggaran belanja di 2015 masih wajar, karena sembilan tahun terakhir, anggaran belanja naik sekitar 13 persen per tahun.

Memang, pemerintah baru berhak menyusun lagi postur anggarannya. Namun, tentu lebih elok jika pemerintah SBY ikut berbagi beban, tidak sekadar mewarisi beban berat tanggungan subsidi. (Margareta Engge Kharismawati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Sumber
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Indef: Banjir Barang Impor Harga Murah Bukan Karena TikTok Shop, tapi...

Indef: Banjir Barang Impor Harga Murah Bukan Karena TikTok Shop, tapi...

Whats New
Emiten Menara TBIG Catat Pendapatan Rp 6,6 Triliun Sepanjang 2023

Emiten Menara TBIG Catat Pendapatan Rp 6,6 Triliun Sepanjang 2023

Whats New
LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

Whats New
?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

Whats New
Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com