Padahal, menurut Ketua I Gabungan Pengusaha Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie D Soegiarto, mobil buatan tahun 2006 ke atas sebenarnya sudah didesain untuk menggunakan bahan bakar setara BBM nonsubsidi.

Namun, sebagian pemilik kendaraan pribadi, toh, masih gemar mengisi tangki mobilnya dengan premium. Salah bensin, meminjam istilah Jongkie membahasakan kondisi ini.

Sesuatu yang bisa dinalar karena adanya disparitas harga antara BBM bersubsidi dan nonsubsidi. Mencari yang lebih murah dibandingkan dengan mutu produk masih menjadi salah satu karakter konsumen dalam negeri.

Berdasarkan catatan Kompas, sejak tahun 2005, Gaikindo sudah mengusulkan agar BBM jenis premium hanya digunakan untuk kendaraan umum dan sepeda motor. Usulan tersebut dinilai bisa membantu pemerintah mengurangi pemakaian BBM di dalam negeri.

Beberapa bulan lalu, wacana pengendalian BBM bersubsidi bagi kendaraan pribadi menghangat lagi, khususnya untuk mobil hemat energi dan harga terjangkau (LCGC).

Faktanya, terlalu setengah hati kalau hanya LCGC yang disoroti. Sebagai gambaran, populasi mobil LCGC di Indonesia hingga semester 1-2014 sekitar 80.000 unit atau 0,7 persen dari populasi mobil di Indonesia yang sekitar 11 juta unit.

Artinya, kalau memang mau adil dan terukur, hapuskan saja subsidi BBM untuk seluruh mobil pribadi, jangan hanya LCGC. Terlalu lama penguasa negeri ini berlaku tidak adil karena telah memberikan subsidi kepada warga yang mampu membeli mobil.

Apabila subsidi BBM mobil pribadi dicabut, tidak perlu lagi ada program rekayasa ukuran selang di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum dan mulut tangki di kendaraan yang ribet, baik dari sisi pelaksanaan maupun pengawasan.

Meskipun diprediksi berpengaruh terhadap inflasi, besarannya tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Hal ini karena yang dinaikkan adalah harga BBM kendaraan pribadi, bukan BBM kendaraan umum atau niaga yang mendistribusikan kebutuhan pokok warga.

Subsidi sepatutnya dinikmati warga yang membutuhkan dan dialokasikan bagi program penting dan berdampak produktif. Subsidi hakikatnya adalah hak. Saatnya pemerintah memberikan hak kepada yang berhak. (C Anto Saptowalyono)