Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalur Pantura Cepat Rusak, Karena Korupsi?

Kompas.com - 19/08/2014, 06:00 WIB

                                          @Rhenald_Kasali

KOMPAS.com - KORUPSI? Kemungkinan besar selalu ada. Tetapi ini sudah masuk dalam radar KPK. Pendapat umum mengatakan, di balik setiap pengadaan besar-besaran selalu ada “tikus” besarnya.

Sama seperti banjir, kalau tak ada lagi banjir, maka tak ada lagi proyek Kopro Banjir (Komando Proyek Pencegahan Banjir) seperti yang dulu dipelihara para oknum di Jakarta. Selama bertahun-tahun, waduk-waduk penampung air dibiarkan penuh sampah dan dijadikan pemukiman. Baru sekarang ia dibenahi.

Berbicara mengenai jalur Pantura yang selalu rusak, kita selalu berpikir pasti spek konstruksinya dikurangi. Faktanya, beban jalan itu memang terlalu berat. Mungkin sama dengan beban jalur Trans Sumatera dan Trans Sulawesi. Bahkan kalau jadi, kelak Indonesia akan punya jalan tol sepanjang 2.700 kilometer yang menghubungkan Banda Aceh sampai Lampung. Tidak tanggung-tanggung, bujetnya Rp 150 triliun! Tapi bagaimana kalau bebannya keberatan?

Jalur laut yang diabaikan

Cepat rusaknya jalur Pantura dan Trans Sumatera ternyata ada hubungannya dengan jalur laut yang terabaikan. Menurut studi yang dilakukan oleh McKinsey dan IPC, menunjukkan, hanya 30 persen dari produksi hasil-hasil perkebunan dan manufaktur (seperti bubur kertas) yang diangkut dari Medan ke Jakarta lewat laut. Selebihnya, diangkut lewat darat.

Angka ini belum termasuk sawit dan produk turunannya, karet, kayu manis, gambir, sayur-sayuran, dan aneka mineral, besi dan seterusnya. Sekitar 70 persen hasil produksi itu, dibawa ke Jakarta lewat darat dengan truk-truk berkapasitas besar. Ini juga sama dengan suku cadang kendaraan dan otomotif.

Sebagian komponen otomotif yang datang dari Thailand, diturunkan di pelabuhan Tanjung Priok, lalu dibawa pakai truk ke lokasi perakitannya di Karawang. Nah, setelah jadi mobil, kemudian dikirim ke kota-kota lain di luar Pulau Jawa dengan truk-truk besar menuju pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya. Baru dari pelabuhan itulah, kendaraan diangkut dengan kapal laut menuju Balikpapan, Pontianak, Makassar, Manado, Jayapura dan sebagainya.

Itu baru otomotif. Bayangkan kalau semua hasil produksi yang terpusat di Cilegon, Tangerang, Jakarta, Karawang dan Cirebon melakukan hal serupa? Jelas Pantura cepat rusak.
Mengapa pengusaha tak memilih jalur laut? Inilah jawabannya.

Pertama, kebijakan subsidi BBM terlalu difokuskan untuk angkutan darat. Kita semua tahu kebijakan pemerintah terhadap subsidi BBM bersifat diskriminatif. Akibatnya, harga BBM angkutan laut lebih mahal. Padahal jalan tol laut dibuat oleh Tuhan, bebas biaya. Cukup buat pelabuhan yang bagus saja.

Kedua, birokrasi di pelabuhan tidak cepat dibenahi. Ribetnya urusan bongkar muat yang diurus banyak pihak membuat urusan menjadi lama dan tak pasti. Bea cukai, karantina, imigrasi, perhubungan, dan sebagainya bak pemerintahan yang urus dirinya masing-masing.
Sewaktu saya tanya pada pengusaha mengapa hanya 30 persen yang diangkut lewat jalur laut, mereka cepat menjawab: sudah mahal, ketidakpastiannya tinggi.

Ketiga jadwal kedatangan kapal tidak dikelola dengan baik sehingga pengusaha harus mencari atau menyewa kapalnya sendiri. Jalur kapal dengan jadwal pasti yang bergerak bak pendulum dari barat ke timur seperti yang diusulkan RJ. Lino, belum serius dijalankan pemerintah.

Keempat, sudah laut di pelabuhannya kurang dalam, dermaga-dermaga kita sempit-sempit. Tak ada tempat yang memadai untuk menata arus barang dan pangkalan truk. Pelabuhan kita telah dikepung pemukiman liar yang padat. Akibat negatifnya sangat banyak seperti truk yang membawa muatan harus segera keluar pelabuhan begitu selesai bongkar. Apalagi tidak ada software yang mengatur supply dan demand-nya. Sebaliknya truk-truk yang kosong, datang dari jauh untuk membawa muatan  barang impor keluar dari pelabuhan.

Ini tentu pemborosan. Jadi, jumlah truk yang ada adalah dua kali lipat dari yang seharusnya, membuat kota-kota di jalur Pantura, termasuk Jakarta macet oleh truk.

Sementara, karena lautnya dangkal, kapal-kapal pengakut peti kemas berkapasitas diatas 4.000 TEUS sulit merapat. Ini membuat biaya logistik makin mahal. Wajar kalau Faisal Basri menemukan harga Jeruk Mandarin dan Jeruk Pakistan lebih murah dari Jeruk Brastagi. Sebab hanya Tanjung Priok yang bisa menerima kapal-kapal besar.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com