Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bergelut dengan Laut..

Kompas.com - 03/09/2014, 03:40 WIB
Estu Suryowati

Penulis


SORONG, KOMPAS.com
- Sudah dua tahun ini Sunardi jauh dari keluarganya di Surabaya. Pria berusia 40 tahun itu, dipasrahi menjaga keamanan laut di wilayah Sorong termasuk Bintuni, Wai Sai, serta Pulau Vani. Suka duka telah ia alami selagi bertugas sebagai Komandan Kal Betok.

"Sama seperti pelaut, tidak pernah jauh dengan situasi bahaya, apalagi cuaca di Sorong ini tergolong ekstrim," kata dia berbincang dengan wartawan, di Sorong, Selasa (2/9/2014).

Pria asli Yogyakarta itu mengatakan, cuaca ekstrim biasa ditemui di antara bulan Juli hingga November. Kala itu, ombak selatan sangat tinggi. Tugas patroli biasanya "off" saat ombak besar. Namun, ketika ada intelijen angkatan laut yang memberikan informasi, petugas patroli pengawasan laut harus bergerak di lapangan. Biasanya, patroli laut dilakukan selama 10 hari dengan 8 orang kru. Tergantung cuaca dan instruksi, patroli bisa kurang atau lebih dari dua kali dalam sebulan.

Selain cuaca ekstrim, jauh dari keluarga adalah duka tersendiri bagi Sunardi. Bapak dua orang anak itu meninggalkan keluarganya di Surabaya. "Itu juga dukanya, jauh dari keluarga. Soalnya kalau setiap pindah tugas, keluarga ikut pindah, repot juga, dan sekolah anak-anak tidak murah. Apalagi anak pertama sudah SMA, jadi harus siap-siap," kata Sunardi.

Sudah 21 tahun ini Sunardi bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. Sebelum dinas di Sorong, Sunardi bertugas selama 14 tahun di KRI Jaya, Surabaya. Selama dua tahun di Sorong, Sunardi mengaku tidak pernah menemukan pelanggaran penangkapan ikan di laut lepas, dengan menggunakan bom ikan, maupun pukat harimau.

"Dua tahun berpatroli di sini belum ada kasus bom ikan dan pukat harimau. Yang banyak ditemukan di lapangan adalah kelengkapan dokumen yang tidak lengkap, serta muatan yang melebihi izin," kata dia.

Meski begitu, dia juga menerima laporan dari warga setempat setiap kali ada kapal mencurigakan, yang terindikasi menangkap ikan secara ilegal. Sayangnya, diakui setiap kali mendekati pelaku, kapal yang dimaksud sudah lenyap. "Malingnya larinya lebih cepat ternyata," kata dia.

Maklum, kapal Kal Betok sudah berumur cukup tua, dibuat pada 1995. Maksimal kecepatan kapal patroli itu hanya 13 knot. Sementara menurut Sunardi, idealnya dibutuhkan kapal berkecepatan di atas 20 knot untuk mengejar para pelaku illegal fishing.

baca juga: Gagasan Poros Maritim

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com