Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Kata Seniman Soal Isu Kenaikan Harga BBM?

Kompas.com - 07/09/2014, 17:36 WIB
Estu Suryowati

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tidak hanya menjadi bahan gunjingan masyarakat umum. Mereka yang berprofesi sebagai seniman pun turut angkat bicara. Sutradara, seniman, yang juga pegiat di social media, Joko Anwar, dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta, Minggu (7/9/2014) mengatakan, harus dibangun kesadaran kolektif bahwa subsidi BBM bukan dihapus, melainkan dialihkan pada mereka yang lebih berhak.

"Harus ada kesadaran kolektif, BBM adalah suatu hal yang penting. Supaya kesadaran kolektif tersebar, caranya kita harus memberi tahu fakta yang jelas. Mobil mengkonsumsi lebih banyak (53 persen) BBM bersubsidi dibanding transportasi umum," kata dia.

Lebih lanjut, Joko menuturkan, kenaikan harga BBM harus didukung semua pihak. Sebab, jika harga BBM tidak dinaikkan, maka anggaran pendidikan dan perumahan serta sektor lain yang seharusnya mendapat porsi lebih banyak di APBN, menjadi berkurang.

Selain menyampaikan kesadaran kolektif, imbuh Joko, harus pula berikan pemahaman kepada masyarakat bawah, bahwa BBM bukanlah faktor yang memiskinkan hidup. Dalam hal ini, Joko mengaku dia sepakat dengan apa yang disampaikan ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, dalam kesempatan sama.

"Yang memiskinkan itu, beras dan rokok. Saya ingat, ibu saya dulu, setiap menunggu pidato kenegaraan bahwa BBM akan naik, dia menangis. Dia mikir, nanti beras naik, rokok naik, nanti buat uang sekolah kurang. Ini yang membuat rakyat bawah paranoid. Kalau boleh saya usul, kita buat satu kampanye menyeluruh, untuk menyebarkan informasi kenaikan harga BBM," ujar Joko.

Dalam diskusi sama, Olga Lydia juga menyatakan dukungan terhadap kenaikan harga BBM. Olga mengatakan, di social media, dia mengajak follower untuk turut menyadari pentingnya kenaikkan harga BBM. "Saya berharap (subsidi BBM) dialihkan ke infrastruktur," ucap Olga.

Dia menuturkan, salah seorang temannya yang menjadi pengusaha lebih memilih bahan baku impor dibanding dari petani lokal. Sebab, akibat infrastruktur yang minim, biaya distribusi antar daerah menjadi tidak efisien.

Komponen distribusi barang dalam proses produksi di Indonesia mencapai 25 persen, jauh lebih tinggi dibanding Amerika Serikat (11 persen) dan Jepang (8 persen). "Subsdi itu harusnya masuk ke infrastruktur..," tandas Olga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com