Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Teknologi Kampus Vs Teknologi Kampung

Kompas.com - 29/09/2014, 06:00 WIB
                                      Prof Rhenald Kasali
                                       @Rhenald_Kasali

Selesai menelisik calon komisioner KPK minggu lalu, saya dijemput seorang teman  menuju sebuah kampung, dekat kawasan industri yang jaraknya sekitar 80 kilometer dari kota Semarang. Di bagian belakang sebuah rumah yang hampir rubuh dan kusam saya menyaksikan tumpukan besi, alat las, tabung besar elpiji dan beberapa tong berisi air.

Di sana saya diterima seorang “montir” genius yang berhasil membuat pembakaran super hemat energi. Lulusan sebuah akademi dari Jepang ini menunjukkan kepada saya teknologi yang terlihat sederhana, hasil eksperimen tiada henti selama 8 tahun. Menurut rekan saya dari Jepang, teknologi ini original, dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.

Atas rekomendasi seseorang, ia diminta bertemu dengan saya. Karena tak mengerti teknologi, saya menghubungi teman-teman dari fakultas teknik, sejumlah fisikawan, dan ahli kimia. Seperti biasa, ilmuwan selalu menyangsikan temuan montir lapangan. Padahal energi ini merupakan proses fisika-kimia yang unik, yang bisa mengubah dunia.

“Secara fisika, itu mungkin, tetapi energi untuk membuat energi itu secara teoritik lebih besar," ujar mereka.  

Karena penasaran, saya merekam semua prosesnya. Saya lalu mengundang beberapa orang pegusaha. Respon yang berbeda saya dapatkan. Walau ada keragu-raguan, para insinyur pengusaha itu takjub dan mau memberi kesempatan. Sang penemu yang tadinya loyo, kini seperti dapat suntikan energi baru. Dahlan Iskan yang saya tunjukkan temuannya malah  memberi dorongan.  Beberapa perusahaan asing ingin menjajaki kerjasama.

“Biasanya, ilmuwan selalu tidak percaya terhadap hal-hal seperti ini. Tetapi biarlah mereka mencoba, biasanya banyak kejutan,” ujar Menteri BUMN ini.

Proyek pengembangan energi baru ini kita mulai secara kecil- kecilan. Kami mempersiapkan segala urusan yang melengkapinya.

Sewaktu saya tanya apa yang membuat ia mempercayakan temuan itu kepada saya, mereka cuma menjawab singkat: Kami ingin ikut membangun negeri namun butuh pemeriksaan scientific-nya.  “Iya, tapi mengapa harus ke saya?” Sambil tersenyum mereka hanya berujar singkat, “Ini sebuah amanah."

Kampung dan Kampus

Apa yang diamanahkan "montir" kampung itu mungkin tidak keren bagi kebanyakan ilmuwan kampus.  Tapi, seperti kata mendiang Deng Xiaoping, bagi saya tidak penting, mau dia berwarna hitam atau putih, selama dia bisa menangkap tikus itulah kucing yang kita cari.

Saya jadi ingat kedatangan seorang ibu rumah tangga yang gemar mengolah herbal dari bahan alami ke Rumah Perubahan. Dengan semangat ia menunjukkan produk barunya yang mampu meluruhkan kolesterol, dan satunya lagi menurunkan gula darah.

Sebagai wirausaha sosial yang gigih, bersama suaminya yang dulu bekerja di Astra, mereka telah menolong banyak orang. Tetapi secara scientific jelas masih jauh. Mereka hanya tahu bagaimana mendapatkan ijin dari Badan POM, mengurus berbagai sertifikat, dan membuat kemasan yang bagus. Mereka lalu dibantu oleh ilmuwan-ilmuwan LIPI dan sejumlah dokter muda yang memberi masukan pribadi secara gratis.

Boleh dibilang produknya  memberi banyak harapan pada yang mulai putus asa dalam berobat. Orang tua saya termasuk orang yang mengakui manfaatnya.

Lantas bagaimana sikap kampus?

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com