Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
ADVERTORIAL

Mengenal Kontrak Hulu Migas Indonesia

Kompas.com - 12/11/2014, 16:11 WIB
advertorial

Penulis

Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas) Indonesia dijalankan berdasarkan Kontrak Bagi Hasil atau Production Sharing Contract (PSC). Skema ini mengoptimalkan penerimaan negara sekaligus melindungi  dari paparan risiko tinggi terutama pada fase eksplorasi.

Bisnis hulu migas memiliki empat karakter utama. Pertama, pendapatan baru diterima bertahun-tahun setelah pengeluaran direalisasikan. Kedua, bisnis ini memiliki risiko dan ketidakpastian tinggi serta melibatkan teknologi canggih. Ketiga, usaha hulu migas memerlukan investasi yang sangat besar. Namun, di balik semua risiko tersebut, industri ini memiliki karakter ke empat, yaitu menjanjikan keuntungan yang sangat besar. Idealnya, kontrak yang digunakan adalah yang mampu menyiasati tantangan dan meraih peluang dari empat karakter tersebut.

Sebelum PSC, Indonesia sempat menganut dua model bisnis, yaitu konsesi dan  kontrak karya. Rezim konsesi dianut Indonesia pada era kolonial Belanda sampai awal kemerdekaan. Karakteristiknya, semua hasil produksi dalam wilayah konsesi dimiliki oleh perusahaan. Negara dalam sistem ini hanya menerima royalti yang secara umum berupa persentase dari pendapatan bruto dan pajak. Keterlibatan negara sangat terbatas.

Rezim Kontrak Karya berlaku saat Indonesia menerapkan Undang-undang No. 40 tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Regulasi ini mengatur bahwa sumber daya migas adalah milik negara. Status perusahaan diturunkan  dari pemegang konsesi menjadi kontraktor negara. Pada sistem ini, negara dan perusahaan  berbagi hasil penjualan migas. Meskipun perusahaan tidak lagi menjadi pemegang konsesi, kendali manajemen masih berada di tangan mereka. Peran pemerintah terbatas pada kapasitas pengawasan.

Skema PSC pertama kali berlaku tahun 1966 saat PERMINA menandatangani kontrak bagi hasil dengan Independence Indonesian American Oil Company (IIAPCO). Kontrak ini tercatat sebagai PSC pertama dalam sejarah industri migas dunia. Penerapan PSC di Indonesia dilatarbelakangi oleh keinginan supaya negara berperan lebih besar dengan mempunyai kewenangan manajemen kegiatan usaha hulu migas.

PSC dapat diibaratkan dengan model usaha petani penggarap yang banyak dipraktikkan di nusantara. Pemerintah adalah pemilik “sawah” yang mengamanatkan pengelolaan lahan kepada “petani penggarap”. Dalam bisnis hulu migas, “petani penggarap” ini adalah perusahaan migas baik nasional maupun asing. Penggarap ini menyediakan semua modal dan alat yang dibutuhkan.

Semua pengeluaran ini tentunya harus disetujui pemilik sawah, karena modal tersebut akan dikembalikan kelak saat panen. Penggantian ini, yang dalam dunia migas dikenal dengan istilah cost recovery, hanya dilakukan jika “panen” tersebut berhasil  atau ada temuan cadangan yang komersial untuk dikembangkan.

Jika tidak, semua biaya ditanggung sepenuhnya oleh penggarap (kontraktor migas). Saat “panen” tiba, produksi akan dikurangkan terlebih dahulu dengan modal yang harus dikembalikan, baru kemudian dibagi antara pemilik sawah dengan penggarap sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak.  

Demikianlah PSC bekerja. Dengan pola ini, negara bisa memanfaatkan anugrah sumber daya migas karena modal dan teknologi disediakan oleh investor. Di sisi lain, negara tidak terpapar risiko kegagalan eksplorasi karena biaya modal dalam kondisi tersebut tidak diganti dalam skema cost recovery. Pemerintah sebagai perwakilan negara juga memiliki kontrol baik atas manajemen operasional maupun kepemilikan sumber daya migas.

Manajemen operasional hulu migas dipegang oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas atau SKK Migas (dulu BPMIGAS) sebagai perwakilan pemerintah dalam PSC. Dengan adanya institusi ini, kendali atas bisnis hulu migas sepenuhnya di tangan negara.

Di sisi lain, PSC juga mengatur bahwa sumber daya migas tetap milik negara sampai titik serah. Berbeda dengan Kontrak Karya yang membagi hasil penjualan migas, dalam sistem PSC, yang dibagi adalah produksi. Selama sumber daya migas masih berada dalam wilayah kerja pertambangan atau belum lepas dari titik penjualan yaitu titik penyerahan barang, maka sumber daya alam migas tersebut masih menjadi milik pemerintah Indonesia.

PSC sampai saat ini masih dipercaya sebagai model paling ideal untuk Indonesia. Sistem ini menjamin penguasaan negara atas sumber daya migas sekaligus melindungi negara dari tingkat risiko dan ketidakpastian yang tinggi dalam bisnis hulu migas.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai industri hulu migas silakan follow akun Twitter resmi SKK Migas di @HumasSKKMigas dan Lipsus SKK Migas. (adv)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com