Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masyarakat Indonesia Boros Air dan Energi

Kompas.com - 24/11/2014, 13:37 WIB
Tabita Diela

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Jumlah penduduk Indonesia terus meningkat,  konsumsi air dan energi terus naik. Padahal, pertumbuhan jumlah air dan produksi energi tidak secepat pertumbuhan konsumsinya. Lantas, perlu ada langkah konkret untuk menyeimbangkan antara kebutuhan dan pasokan kedua hal tersebut.

Menteri Pekerjaan Umum dalam Kabinet Indonesia Bersatu, Djoko Kirmanto, menyatakan, Kabinet Kerja sudah menaruh perhatian khusus pada pembangunan infrastuktur. Pembangunan tersebut diharapkan akan berujung pada berbagai perbaikan, termasuk peningkatan pasokan air dan energi yang sangat dibutuhkan masyarakat.

"Saya gembira Pak Presiden berencana, paling tidak 25 waduk dan irigasi diperbaiki," ujar Djoko dalam pidato kuncinya di acara Indonesia Water Learning Week, Hotel Sultan Jakarta, Senin (24/11/2014).

Hanya saja, sebut Djoko, pola hidup masyarakat cederung boros dalam penggunan air dan energi. Selain itu, penyebaran pasokan air juga tidak merata. Di satu daerah pasokan air diforsir untuk mencukupi kebutuhan masyarakat yang berlebihan, di daerah lain ketersediaan air begitu minim. "Cadangan air kita nomor lima terbesar di dunia," tutur Djoko.

"Sayangnya airnya tidak merata, di Jawa dengan NTT berbeda. Ini tantangan para ahli,"  tambahnya.

Penyebaran yang tidak merata juga terjadi lantaran pembangunan infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan air dan energi tidak mudah. Pembangunannya tidak semata membutuhkan biaya, namun juga pertimbangan lain.  Djoko mengatakan, pembangunan fasilitas ini harus sinkron dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Sementara itu, Dirjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Mudjiadi menjelaskan bahwa ada hal teknis lain. Pembuatan bendungan, tutur Mudjiadi, harus melihat topografi wilayah di sekitarnya.

"Untuk menentukan dam (waduk) harus lihat ada cekungan atau tidak. Geologinya bagus atau tidak, kita lihat juga apakah sudah banyak penduduk atau tidak. Kalau di situ sudah berkembang kan masalah sosialnya juga tinggi,"  katanya.

Lantas, jika kondisi geologi tidak memungkinkan, waduk tidak bisa dibangun. "Kalau geologi jelek, di situ ada patahan, atau tanahnya porous (berlubang) kan tidak bisa. Jadi tetap ada faktor geologi kita tentukan," imbuhnya.

Membangun waduk saja tidak cukup. Perlu ada perbedaan ketinggian permukaan tanah agar air bisa mengalir dan menggerakkan turbin. Pergerakan air ini yang nantinya bisa membuat turbin menghasilkan listrik.

"(Syarat menjadikan bendungan sebagai PLTA) airnya cukup, kemudian ada beda tinggi. Jadi dengan adanya beda tinggi, (air) bisa gerakkan turbin buat litrik. Jadi, air itu ada tiga. Ada kuantitas, kualias, terus daya. Karena itu kita sebutnya sumber daya air. Air yang bisa menggerakkan turbin itu," ucap Mudjiadi.

Dia mengatakan, ada 203 bendungan di Indonesia yang berpotensi untuk dijadikan PLTA dan memasok sekitar 75.000 mega watt. Lebih dari dua ratus bendungan tersebut lebih dari cukup untuk menunjang target penyediaan 35.000 mega watt listrik yang ditargetkan pemerintah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com