Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
ADVERTORIAL

Belajar dari Krisis Demi Kestabilan Sistem Keuangan

Kompas.com - 15/12/2014, 10:02 WIB
advertorial

Penulis

Kalimat di atas diucapkan oleh seorang ekonom di sebuah ruangan Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM beberapa tahun yang lalu, saat saya sedang melakukan penelitian tentang pengaruh kondisi ekonomi makro terhadap kinerja perbankan di Indonesia. Diskusi mulai menghangat saat membicarakan tentang ketahanan perekonomian Indonesia, terlebih saat memasuki masa-masa krisis moneter 1998 dan menghadapi gelagat krisis pada 2008.

Kejadian krisis 1998 merupakan kenangan buruk perjalanan perekonomian kita. Saat itu krisis sebenarnya bermula dari Baht (Thailand) yang terdepresiasi lebih dulu, kemudian Rupiah terkena contagion effect (dampak rambatan) dan ikut mengalami pelemahan. Dalam tempo yang relatif cepat, Rupiah benar-benar ‘tumbang’ dari Rp 2.396 pada Januari 1997 hingga mencapai puncaknya pada Juni 1998 pada posisi Rp 14.900 bahkan sempat menyentuh Rp 17.000-an per dolar AS.

Jatuhnya Rupiah kemudian merambat ke berbagai lini yang ada dalam sistem keuangan lainnya, dan yang terparah adalah perbankan. Pada November 1997 pemerintah akhirnya menutup 16 bank. Kebijakan yang awalnya bertujuan menyehatkan perbankan ini justru membuat kepanikan dan mengakibatkan penarikan dana besar-besaran (bank runs) oleh nasabah (dikutip dari Simorangkir, 2011: 56-58, dalam Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Juli 2011).

‘Sakitnya’ sistem keuangan kemudian menular ke berbagai sektor perekonomian, bahkan melompat dan menyerang berbagai sektor non-ekonomi. Ingatan kita tentu masih kuat saat mengenang rentetan kejadian selama 1998; mahasiswa ramai-ramai turun ke jalan, kerusuhan terjadi di berbagai lapisan, masyarakat menjarah pertokoan, investor pun tunggang langgang meninggalkan Indonesia. Dengan kata lain pada 1998 krisis ekonomi telah menjangkiti segala dimensi.

Kejadian serupa seolah terbayang kembali, dan dikhawatirkan akan terulang saat krisis subprime mortgage menyerang sistem keuangan Amerika Serikat 2008 silam. Ketika itu Bank of England (BOE) terus melakukan injeksi likuiditas akibat bank runs, pasar saham global berjatuhan (terendah sejak September 2001), Lehman Brothers bangkrut, Ukraina, Pakistan, Eslandia, Hongaria dan Belarusia menerima bantuan finansial dari IMF, hingga AS secara resmi dinyatakan berada dalam kondisi resesi oleh  National Bureau of Economic Research (NBER), serta The Fed yang terus menurunkan suku bunga hingga mencapai level 0,25 persen, yang merupakan level terendah dalam sejarah (Outlook Perekonomian Indonesia 2009, Bank Indonesia 2009; 45-46).

Untungnya pada 2008 pemerintah dan segenap otoritas pengambil kebijakan di Indonesia relatif lebih siap. Jaring pengaman disebar dan program perlindungan diterapkan. Sehingga ketidakstabilan sistem keuangan yang berubah menjadi resesi di beberapa negara relatif bisa diatasi oleh Indonesia.

Gejolak yang terjadi pada awal 2008 kemudian direspon dengan sebuah langkah besar pemerintah; membentuk komite stabilitas sistem keuangan melalui PERPU RI No.4 Tahun 2008.

Dari sederet pengalaman dan kejadian di atas, timbul pertanyaan mendasar,mengapa sistem keuangan harus stabil?

Kondisi ekonomi makro ibarat lingkungan tempat hidupnya berbagai jenis sektor dan sistem. Ekonomi makro yang stabil dan kokoh akan membuat sektor dan sistem yang ‘hidup’ di bawahnya berjalan sehat. Di antara berbagai sektor dan sistem tersebut, sistem keuangan menjadi salah satu bagian yang relatif sensitif terhadap kondisi ekonomi makro, dan sebaliknya perkembangan yang terjadi pada sistem keuangan juga terkadang memberi dampak terhadap lingkungan ekonomi makro. Untuk itulah, kondisi sistem keuangan harus tetap stabil dan diawasi demi menjaga lingkungan ekonomi makro (bahkan kehidupan bangsa) yang kondusif.

Seiring dengan perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi, sistem keuangan menjadi tak bersekat lagi dengan sistem keuangan di berbagai negara di dunia. Sistem yang kerap fluktuatif ini telah terintegrasi dan seolah memiliki rangkaian yang tak terputus. Untuk itu, kesiapsiagaan melalui berbagai koordinasi yang intens antara Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter dan jajaran pengambil kebijakan lainnya di pemerintahan sangat dibutuhkan. BI dan pemerintah dituntut untuk jeli dan selalu waspada terhadap perkembangansistem keuangan, tak kenal lelah, tanpa henti.

Untuk informasi lebih lengkapnya, silahkan klik disini. (adv)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com