Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Petani Terbebani Pungutan Liar, Sektor Pertanian Perlu Revolusi Mental

Kompas.com - 09/01/2015, 13:37 WIB
Estu Suryowati

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
– Petani Indonesia masih terbebani pungutan liar. Badan Pusat Statistik (BPS) juga telah mengakui pungutan liar masuk ke dalam biaya lain-lain yang memengaruhi tingginya biaya pengusahaan tanaman pangan.

Ketua Komite Tetap Ketahanan Pangan, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Fransiscus Welirang menuturkan pungutan liar banyak dialami para petani di wilayah Jawa. Pungutan liar mulai dari biaya penjagaan pintu air untuk irigasi, sampai retribusi kepada kepala desa.

“Ini menyebabkan penghasilan petani berkurang, belum lagi ditambah sewa lahan, dan bunga bank. Itu (pungutan liar) adalah satu hal strategis yang ingin kami tinggalkan,” kata Franky dalam diskusi bersama Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, Jakarta, Jumat (9/1/2015).

Franky usai diskusi menjelaskan kepada wartawan, biaya pengusahaan pertanian pangan saat ini sudah jauh lebih tidak efisien dari masa lalu. Dari sisi lahan salah satunya. Pada masa lalu, antara petani dan pemilik lahan ada bagi hasil dari kegiatan bertani. Sementara saat ini, petani harus menyewa dari pemilik lahan.

“Tuan tanah pasti dapat uang. Kalau dulu resiko ditanggung bersama. Hari ini dia harus bayar uang sewa, bekerja keras untuk pangan kita dan ambil resiko,” ucap Franky.

Kedua, para petani juga wajib membayar pungutan kepada pihak-pihak yang menjaga pintu irigasi. “Enggak keluar uang, enggak dapat air,” kata dia.

Selain itu, Franky juga mengatakan para petani harus memberikan uang keamanan. Sebab kalau tidak, produksi lahannya bisa dijarah.

“Pada saat panen harus ada retribusi ke kades. Ujung-ujungnya harga petaninya seolah-olah rendah. Padahal pungutannya bukan main,” ucap Franky.

Belum lagi, lanjut dia, jika meminjam ke bank, maka para petani harus membayar bunga 3-4 persen. Masalah pupuk juga dia ragukan, para petani mengerti bahwa pupuk yang diterimanya sesuai dengan volume dan kualitas atau tidak.

Franky mengatakan, tidak ada aturan jelas mengenai pungutan liar, utamanya yang dilakukan oleh kades. Pungutan resmi atau yang bisa disebut sebagai hasil dengan wilayah bersangkutan hanya berlaku untuk lahan yang termasuk tanah bengkok. Menurut pengamatan Franky, pungutan ini sudah menjadi semacam tradisi.

“Siapa yang mau berbicara. Dia sendiri mungkin tidak mengerti. Karena mereka berfikir ini kan budaya. Kedua, kalau dia berteriak di tempat itu, dia dimusuhi di desanya, bisa saja,” kata Franky.

Pemerintah, lanjut dia, bisa melakukan sesuatu untuk menihilkan pungutan liar ini. “Kita bicara revolusi mental,” kata dia.

Tawaf Amran Sulaiman, bagi dia adalah salah satu langkah penting dalam revolusi mental. Sebab dengan begitu, perangkat di bawahnya akan tergerak untuk berubah lantaran merasa terus diperhatikan oleh Mentan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com