Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gali Batu, Gila Batu...

Kompas.com - 08/02/2015, 15:15 WIB

Oleh: Mawar Kusuma & M Hilmi Faiq

JAKARTA, KOMPAS - Seniman Remy Sylado mengenakan batu akik di sepuluh jari tangannya. Butet Kartaredjasa menyimpan koleksi puluhan batu akik di kotak deposit di sebuah bank. Kini batu akik menjadi gaya hidup. Ada apa dengan batu akik?

Butet Kartaredjasa menyimpan akik di bank semata demi pengamanan bagi batu akik serta batu mulia yang diwarisinya dari almarhum sang ayah, mendiang Bagong Kussudiardja. Penari dan koreografer Bagong, menurut Butet, selalu membawa tiga kantong kulit berisi beragam batu akik. Di tengah jalan, Bagong bisa berhenti lalu bercerita tentang akiknya hingga berjam-jam. Setelah Bagong meninggal, ratusan batu akik itulah yang kemudian dibagi oleh anak-anaknya.

Bagong bahkan pernah membeli lukisan dari seorang seniman terkenal dengan barter batu akik. "Kalau ada saudara yang kepepet butuh duit, mereka menjual akik ke saya. Mertua juga senang menghadiahi akik. Lama-lama suka," kata Butet.

Sejak mahasiswa, Butet memakai cincin berhias batu merah hitam. Kala itu, dia merasa penampilannya kurang macho. Tanpa kumis dan tidak tertarik memakai beragam aksesori, penampilannya sebelum memakai cincin akik dirasa "pucat". "Dulu aku bukan penggemar batu. Suatu hari nonton Jakarta Fair, tertarik lihat stan yang jual batu," kata Butet.

Batu yang dibeli sejak mahasiswa itulah yang hingga kini jadi kebanggaan Butet. Sekilas, batu itu terlihat berwarna hitam, tetapi akan berubah menjadi merah tua pada saat diterawang. Saking cintanya, batu tersebut tak pernah lepas dari jari manis tangan kanan Butet. Si cincin berhias batu tersebut hanya akan berpindah ke jari tangan kiri ketika Butet makan masakan padang dengan cara "muluk" memakai tangan.

Bahkan, ketika pentas atau main film, si hitam merah selalu lekat di jemari. Beberapa rekan seniman berseloroh bahwa Butet bisa main teater dengan bagus hanya karena memakai cincin batu. Ada pula yang sempat mengira batu itu sebagai alat pengasihan. Beberapa kali, ada penggemar batu yang berniat membeli batu unik yang dulu dibeli seharga Rp 25.000 itu.

"Aku merasa lebih keren. Kalau enggak pakai cincin batu rasanya gondal-gandul. Kayak enggak pakai celana dalam," tambah Butet.

Tak sekadar mengandalkan warisan, Butet pun mulai ketularan hobi berburu batu. Seperti ketika pergi ke Nusa Kambangan, ia membeli beberapa batu kul buntet yang konon bisa berjalan sendiri jika diletakkan di permukaan kaca yang diolesi minyak.

Keindahan alamiah akik itu pula yang membuat sastrawan Remy Sylado jatuh hati. Sejak 1970-an, Remy sudah mengoleksi beragam jenis batu akik. Awalnya, koleksinya hanya sebatas batu berwarna putih, sesuai warna kesukaannya. Kecintaan pada batu warna putih lantas merembet ke batu akik hitam dan merah sebelum kemudian mengoleksi batu dari semua warna.

Batu marjan yang disebutnya memiliki warna merah keren, batu pirus berwarna biru, hingga giok hijau adalah beberapa dari ratusan batu akik yang dikoleksi Remy. Batu-batu tersebut disimpan dengan sangat hati-hati di laci meja khusus di rumahnya. Beberapa batu akik sudah diikat dengan logam mulia dan dipakai sebagai cincin.

"Saya suka batu, tapi tidak percaya batu. Selera pribadi yang terpelihara sampai sekarang. Kenikmatan orang sakit jiwa itulah," tambahnya.

Memakai batu, menurut Remy, tidak lantas membangun sebuah perasaan tertentu. Selain sekadar suka, Remy bisa menjalin dialog dengan orang lain lewat sarana batu. Ada saja orang-orang yang datang ke rumahnya lalu berdialog tentang keindahan batu. "Saya heran kok sekarang jadi tren," ujar Remy.

Selain sebagai kegemaran, batu juga dijadikan peluang mendulang uang. Ini antara lain dilakukan Andi Nugraha (26), analis pada sebuah bank. Dia tidak keberatan melepas beberapa butir batu kesukaannya jika memang harganya cocok. Apalagi jika nilai tukarnya bisa sampai dua kali lipat dari harga beli.

Andi kini menyimpan lima butir batu jenis chalcedony, kecubung, pyernhite nigeria, dan american black star, yang harganya mulai dari Rp 100.000 sampai Rp 500.000. "Kalau pandai menjual, bisa untung dua kali lipat," kata Andi, yang beberapa hari lalu menjual dua batu seharga Rp 350.000. Padahal, dia hanya membeli dengan harga setengahnya.

Agus Hadyana (37), wartawan dan pekerja seni di Bandung, melihat maraknya kegilaan terhadap batu sebagai peluang mengumpulkan dana untuk kegiatan seninya. Agus tak ingin bergantung pada bantuan pemerintah atau mengajukan proposal ke lembaga-lembaga untuk mencari dana. Dia berpikir, menjual batu bisa menjadi jalan keluar.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com