Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 02/03/2015, 05:45 WIB

                                          Rhenald Kasali
                                     (@Rhenald_Kasali)

KOMPAS.com - Mulanya saya tidak percaya  sewaktu seseorang yang ikut dalam proses lelang di sebuah pemprov diancam akan ditusuk. Bukan cuma diancam.

Di Bogor tahun 2008 seorang peserta lelang ditusuk betulan begitu ia memasukkan berkas penawaran (Pikiran Rakyat, 28/7). Lalu di Riau, panitia lelang juga ditusuk mafia lelang. Tetapi begitu membaca berita tentang pemenang-pemenang tender siluman di Pemprov DKI beserta lokasi kantornya beberapa hari ini, menjadi amat jelas.

Terang saja kita sering merasa pemerintah tidak hadir. Jalan-jalan di kampung diurus warga sendiri-sendiri, swasembada. Supaya kampungnya aman, warga  harus mencantol kabel PLN secara ilegal dengan lampu neon urunan warga.

Kita juga sering melihat betapa “bodohnya” pemerintah memberikan hibah peralatan yang sama sekali tak bisa dipakai. Pengusaha UMKM mendapat alat potong tempe, tetapi pisaunya kebesaran. Rumah sakit mendapatkan alat-alat kesehatan, tetapi jarumnya setebal jarum suntik  sapi, sarung tangan operasi untuk ukuran tangan orang Afrika, atau plester operasi yang lengket. Praktik seperti itu sudah lama kita dengar dan lihat sendiri.

Di kampung tempat saya tinggal di Jatimurni-Bekasi, warga masyarakat menaruh kaleng-kaleng sumbangan untuk merawat para janda dan anak yatim yang seharusnya diurus negara. Keamanan, sampah, penerangan, kegiatan sosial, bahkan pendidikan dan lingkungan hidup, hampir semuanya diurus warga tanpa keterlibatan pemerintah.

Tapi kalau hal ini ditanyakan pada gubernur atau walikota, mereka tidak terima. Pasalnya, Pak Guberbur atau Pak Wali (merasa) sudah bekerja keras.

Sekarang borok-borok yang sudah lama kita rasakan itu dibuka oleh Gubernur DKI. Saya berharap kita tidak buru-buru menutup kasus ini. Kita harus memasang lampu terang-terang di tengah-tengah sarang tikus, memasang jerat yang kuat dan memasang sistem pencegahan baru yang tak bisa lagi ditembus oleh siluman-siluman liar. Negeri ini tengah disandera para "mafioso" dari atas sampai ke bawah.

Penjahat Mengusir Si Baik

Hampir semua kontraktor tahu persis bahwa sebagian besar (sekitar 90 persen) peserta lelang barang-barang dan jasa pemerintah adalah pengusaha abal-abal. Selain alamat kantornya tidak jelas, pengurusnya pun tak banyak dikenal. Apalagi kehandalan teknisnya. Mereka umumnya punya beberapa bendera (perusahaan) yang dipakai dengan satu tujuan: memenangkan lelang.

Pada saat memasukkan dan pembukaan dokumen lelang yang dilakukan secara terbuka, mereka pun mengutus orang-orang berwajah garang. Kata-kata mereka sangat pedas, membuat nyali orang-orang baik cepat ciut. Jumlah mereka amat banyak. Kuat membentak, bahkan mengancam peserta lelang baru yang bersusah payah membangun reputasi dan kualitas.

Tetapi jangan salah, ada juga di antara mereka yang bertugas menggarap orang-orang baik itu agar bersiap-siap menjadi subkontraktor. Kadang mereka bekerjasama dengan panitia lelang. Maksud saya, kalau tak bisa diajak bekerjasama, mereka pun diberi ancaman yang serius.

Anda mungkin pernah membaca, panitia lelang di Riau yang ditusuk oleh seorang peserta lelang yang merasa terancam karena ia menduga panitia punya jagoan lain.

Jadi panitia lelang boleh saja punya “jagoan” calon pemenang. Tetapi pemenang yang sebenarnya tidak bisa lain selain para pemain yang sudah memasang pasukan lapangan tadi. Karena kewalahan, tak jarang terbentuklah sebuah persekongkolan. Pengusaha-pengusaha baik dikalahkan mafia, yang mengatur lelang bersama panitia.

Bila dulu subkontraktor bisa menerima 70 persen dari nilai proyek, maka pengamatan saya, kini mereka hanya menerima sekitar 30 persen saja. Maka tak heran kalau sekolah-sekolah yang tak memerlukan UPS dipaksa menerima barang yang harga sebenarnya hanya beberapa juta rupiah saja yang telah di mark up menjadi Rp 5 miliar hingga Rp 6 miliar.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com