Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penggunaan Sistem "Flare" di Banyu Urip Diizinkan

Kompas.com - 27/03/2015, 12:00 WIB
Estu Suryowati

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH) telah memberikan izin penggunaan sistem flare di lapangan Banyu Urip, Cepu, Jawa Timur, hingga Desember 2015.   Sistem flare merupakan sistem pengaman dari gas yang keluar dengan cara membakar gas yang keluar.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja mengatakan, KLH telah mengeluarkan izin untuk penggunaan gas flare sebesar 23 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd).

Wira mengakui proyek pengembangan lapangan minyak yang ditaksir mencapai produksi puncak sampai 205.000 barel per hari (bph) memiliki banyak problem. Pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM memfasilitasi soal lahan dan lingkungan, yang diakui Wira cukup berat.

“Bapak Menteri ESDM dan Ibu Menteri KLH (Siti Nurbaya Bakar) langsung bertemu menyelesaikan pending issue, untuk mempercepat proyek ini. Salah satunya adalah gas flare. Dengan bertemunya Menteri ESDM dan Menteri KLH, banyak yang bisa diselesaikan. Sehingga izin flare-nya sampai Desember untuk 23 mmscfd dikeluarkan. Sehingga, jaminan fasilitas untuk berproduksi bisa tercapai,” jelas Wira, Jakarta, Kamis (26/3/2015).

Bagi Menteri ESDM, Sudirman Said, lapangan utama seperti Banyu Urip ini sangatlah penting. Sebab, ketika puncak produksinya, Banyu Urip bisa menyumbang minimal 20 persen dari target lifting nasional.

Sudirman mengatakan, pihaknya sudah bertemu dengan Menteri KLH Siti Nurbaya Bakar untuk memuluskan proyek Banyu Urip. “Kita tidak ingin ada hambatan di depan,” tegas Sudirman.

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Amien Sunaryadi menjelaskan, gas yang dibakar saat ini sebesar 16 mmscfd. Diperkirakan pada waktu mendekati kapasitas maksimalnya nantinya, gas yang dibakar mencapai 50 mmscfd.

“Itu hanya pada masa finalisasi konstruksi. Setelah full capacity gasnya tidak di-flare karena gasnya akan dipakai untuk injeksi,” kata Amien.

Tidak ekonomis

Gas yang terpaksa harus menguap ke udara menjadi emisi karbondioksida tersebut, diakui Wira tidak ada dalam desain awal. Rencananya, gas yang dihasilkan dari pengeboran minyak diperuntukkan pembangkit listrik, dan injeksi mempertahakan tekanan dalam reservoir.

“Tapi, karena ada keterlambatan, jadi fasilitas untuk injeksinya tidak pas dengan waktu fasilitas produksi,” kata Wira.

Namun, menurut Wira membangun instalasi untuk menangkap gas tidak lebih ekonomis ketimbang membuangnya ke udara. Apalagi, kata Wira, gas yang dibuang ke udara akan menurun mulai pertengahan November.

“Dan Januari sudah tidak ada flare sama sekali. Sehingga untuk membangun fasilitas memonetisasi yang jangka pendek ini tidak ekonomis,” jelas Wira.

Senada dengan Wira, Amien juga menilai tidak ekonomis jika harus dibangun instalasi untuk menangkap dan memproses gas yang keluar dari sumur minyak.

“Instalasi ini waktu dihitung, kalau dipakai hanya beberapa bulan tidak ekonomis. Karena itu diputuskan di-flare. Untuk flare ini kan harus mendapat izin dari KLH, izinnya sudah keluar juga,” kata Amien.

Informasi saja, dampak dari pembakaran gas pada sistem flare menjadi salah satu penyebab emisi CO (karbonmonoksida), SOx dan NOx  ke udara yang dapat menyebabkan  pemanasan global.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com