Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Calon Pengusaha, Waspadai Bahayanya Tren!

Kompas.com - 02/04/2015, 06:07 WIB

oleh Dedy Dahlan

@dedydahlan

KOMPAS.com - Untuk para pengusaha pemula atau calon start up yang masih bingung menentukan bidang usaha yang mau dipilihnya, tren seringkali jadi acuan mereka untuk menemukan peluang usaha.

“Apa yang lagi ‘in’?” “Apa yang lagi ngetop?” “Apa yang lagi laku?” adalah contoh- contoh pertanyaan seputar pencarian trend. Dan kalau dilihat dari permukaan semata, memulai suatu usaha dan profesi dari ‘tren’ nampaknya cukup baik, kinclong oleh potensi, dan ‘dijamin’ potensial dengan cap ‘dijamin laku’.

Padahal sesungguhnya, Anda harus benar- benar mewaspadai bahayanya sebuah tren, dan resiko besar yang ada dalam mengikuti tren!

Waktu saya pertama kali memulai bisnis saya di usia kuliah dulu, saya pernah membaca suatu tulisan di sebuah buku bisnis yang bunyinya, “Kalau Anda mendengar tentang suatu peluang dari media dan lingkungan Anda, berarti Anda sudah terlambat untuk ikut di dalamnya.”

“Mendengar peluang dari media dan lingkungan”. Ini artinya suatu “tren”.

Jadi kalau sesuatu itu sudah jadi tren waktu Anda mendengarnya, maka Anda mungkin sudah terlambat untuk ikutan buka baju dan nyebur ke dalamnya.

Teori ini saya lihat berulang kali menjadi kenyataan, dan berkali- kali terjadi dalam berbagai jenis usaha yang dibuat berdasarkan tren.

Tahun 1998, ada tren warung tenda di Bandung. Di jalan Dago, setiap dua meter ada warung tenda. Hal ini menjadi tren setelah beberapa orang yang lebih dulu membuka warung tenda, nampak tetap berjalan baik diterpaan angin krisis moneter. Ini membuat semua orang berbondong- bondong berebut mengambil lahan 2,5 x 4 meter di trotoar, dan membuka warung tendanya sendiri.

Dalam waktu singkat, warung tenda jadi tren yang dahsyat! Lalu dalam waktu singkat pula, warung tenda hilang dari ingatan warga Bandung, ketika trennya berlalu.

Mereka yang masih bertahan dan bahkan tumbuh sampai sekarang adalah mereka yang memulai usahanya sebelum hal itu menjadi trend, dan mereka yang hilang adalah mereka yang sekedar mengikuti trend tersebut. Dan mereka yang rugi besar? Adalah mereka yang mengikuti trend itu ketika sudah terlambat.

Tahun 2010, keripik pedas Maicih meledak seperti bom atom di Indonesia. Axl, si pendiri, memulai bisnis ini, yang kemudian jadi suatu bidang usaha yang ngetrend di berbagai kota. Disusul oleh beberapa brand keripik lainnya yang masuk industri ini tidak lama setelah Maicih.

Saat Maicih menjadi buah bibir media, segudang brand keripik dan varian cemilan pedas lainnya mengikuti tren ini, dan nyebur ke dalam lautan cabe. Beberapa tahun setelahnya, oversupply membuat tren ini mulai mereda, dan malahan mencari keripik pedas mulai sulit dan tidak semudah dulu.

Maicih dan segelintir brand lain yang mengawali tren ini masih berjalan kuat, sementara mereka yang hanya mengikuti tren itu kini semuanya sudah menghilang. Dan mereka yang rugi besar? Adalah mereka yang mengikuti tren itu ketika sudah terlambat.

Kalau Anda mau berhenti sejenak untuk mengingat- ingat, Anda bakal menemukan contoh seperti ini bertebaran dalam jumlah yang banyak di masyarakat kita. Masih ingatkah Anda dengan tren ikan Arwana dulu? Lalu tren investasi pohon emas? Lalu tren bisnis ekspor tokek atau bahkan tren burung beberapa tahun lalu? Kenalkah Anda dengan ratusan orang yang kehilangan puluhan bahkan ratusan juta dalam tren- tren itu?

Tren adalah salah satu petunjuk tentang apa yang sedang disukai dan diminati, dan sedang menyerbu pasar di sekeliling kita. Kita perlu tahu tentang tren, dan perlu mengamati potensi yang ada dalam suatu tren. Tetapi, berhati- hatilah dalam memutuskan untuk meloncat masuk.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com