Kota Pangkal Pinang berperan dalam percaturan global selama berabad-abad. Peran tersebut dimulai sekitar tiga abad lalu, saat kota ini didirikan Belanda untuk melancarkan urusan penambangan timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Pada pertengahan abad ke-20, kota itu kembali menjadi salah satu pusat perhatian dunia karena menjadi tempat pembahasan awal perundingan Roem-Royen. Perjanjian yang membuat Belanda, antara lain, setuju mengakui Yogyakarta sebagai ibu kota RI.
Kini, kota di tepi Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I itu membenahi diri untuk kembali berperan dalam globalisasi. Beranjak dari kesadaran bahwa timah tidak bisa selalu diandalkan, kota itu berusaha berbenah.
"Pangkal Pinang, seperti semua kabupaten/kota di Bangka Belitung, tidak bisa selamanya mengandalkan timah. Perlu dicari sumber lain untuk menggerakkan kota ini," ujar Kepala Dinas Pendidikan Pangkal Pinang Edison Taher, 27 April.
Pemerintah Kota Pangkal Pinang menyadari, tidak terdapat banyak sumber daya alam di wilayah seluas 118 kilometer persegi tersebut. Oleh karena itu, Pemkot Pangkal Pinang menggarap sumber daya lain yang lebih penting, yaitu manusia.
"Tidak ada cara lebih baik untuk menyiapkan sumber daya manusia selain lewat pendidikan. Globalisasi, masyarakat ekonomi ASEAN, dan bonus demografi adalah sebagian alasan orang di sini harus disiapkan sejak dini lewat pendidikan," tutur Edison.
Persiapan tentu harus dilakukan jauh-jauh hari. Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Pangkal Pinang Agung Yubi Utama, pembangunan di bidang pendidikan memang tidak bisa segera terlihat hasilnya. Butuh waktu sangat panjang untuk melihat hasil pembangunan di bidang pendidikan.
"Kalau bangun gapura atau perbaiki jalan, dalam beberapa bulan akan terlihat hasilnya. Kalau memperbaiki pendidikan, akan butuh dari belasan tahun untuk melihat hasilnya," ujarnya.Pemanfaatan TI
Edison mengatakan, Pangkal Pinang sudah menuntaskan masalah akses pendidikan. Paling tidak itu terlihat dari angka partisipasi kotor (APK) yang sudah melampaui 100 persen. Hal itu menandakan seluruh anak usia sekolah sudah bersekolah sesuai jenjang usianya.
Pangkal Pinang sudah menuntaskan program wajib belajar 12 tahun. "Sekarang kami mau mendorong menjadi 15 tahun atau setara diploma. Dorongan itu untuk persiapan menghadapi bonus demografi dan globalisasi," ujarnya.
Pemkot Pangkal Pinang menghibahkan lahan dan sejumlah fasilitas untuk membangun akademi komunitas yang digagas Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi pada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Sejumlah beasiswa juga diberikan untuk warga yang melanjutkan pendidikan tinggi di luar Bangka Belitung.
"Akademi komunitas akan fokus pada keahlian bidang kelautan dan pariwisata. Pangkal Pinang punya potensi di sektor itu," ujar Edison.
Dinas pendidikan setempat juga fokus pada pemanfaatan teknologi informatika. Lembaga itu mengelola laman berisi aneka data soal pendidikan dan bisa dipakai guru ataupun pelajar.
"Mereka bisa mengaksesnya dari sekolah di seluruh Pangkal Pinang yang sudah terhubung dengan internet. Setiap sekolah ada Wi-Fi (nirkabel) yang dipasang pelajar SMK di sini," kata Edison.