Oleh: Dr. Dimitri Mahayana
Bagaimanapun, membaca publikasi di harian Kompas edisi Senin, 15 Juni 2015, tentang konflik dalam dunia luar jaring (luring) imbas makin melekatnya dunia digital dan dalam jaringan (daring), sikap pertama penulis dan kita semua, tentu mengutuk kekerasan yang terjadi.
Apapun alasan dan pembenarannya, manakala tindakan destruksi menjadi pilihan, adalah manifestasi kebebalan yang terus berulang di negeri ini. Padahal kita tahu, dengan legacy musyawarah mufakat dari pendiri bangsa ini, selalu ada cara komunikasi yang resolutif.
Internet citizen (netizen) Indonesia pun sudah masuk kategori heavy user, karena 40 persen waktu melek dari hidupnya (tujuh jam dari 18 jam) terkoneksi dunia maya dengan rincian 4-5 jam di komputer personal dan sisanya di smartphone/tablet. Luar biasa!
Kemudian, dengan cerdasnya, situasi ini diakomodir baik oleh banyak startup. Misalnya konsep web 2.0 ala kebanyakan media sosial, ini merubah pola komunikasi menjadi many to many dari broadcast media. Pola ini sungguh selaras dengan cara perubahan sosial pasca-perang dingin dunia.
Kita, masyarakat Indonesia - terutama generasi baby boomer - pasti ingat jika dulu TVRI dan RRI selalu menjadi broadcast media yang mendominasi kehidupan sosial.
Lalu, datang era reformasi yang demokratis dan dua arah interaksi, maka wajar jika laman kontemporer digemari publik. Ketika hal ini terus bergulir, maka kita tahu, manusia urban hari ini di tanah air sangatlah sulit mengelak dari aplikasi internet dan smartphone.
Simak data tiga tahun terakhir di Indonesia. Netizen tahun 2013 mencapai 71,2 juta dengan pengguna ponsel cerdas 38,5 juta (penetrasi 54 persen), tahun 2014 88,1 juta dan pengguna ponsel cerdas 57,7 juta (65 persen), serta proyeksi 110 juta dan pengguna ponsel cerdas 71,6 juta (65 persen).