Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benarkah Pekerja Asal China Menyerbu Indonesia? Ini Penjelasan Menaker

Kompas.com - 30/06/2015, 14:04 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -
Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri membantah terjadinya serbuan para pekerja China ke Indonesia. Ia menyatakan, pihaknya melakukan seleksi ketat terhadap keberadaan tenaga kerja asing (TKA) untuk memastikan tidak adanya pelanggaran aturan ketenagakerjaan, terutama izin kerja selama di Indonesia.

“Terkait adanya isue soal serbuan TKA China itu tidaklah benar. Kita harus pastikan setiap TKA yang bekerja di Indonesia mengikuti prosedur pengurusan izin kerja dan tidak melanggar aturan ketenagakerjaan,” kata Menaker Hanif dalam keterangan pers Biro Humas Kemnaker di Cilacap, Jawa Tengah pada Selasa (30/6/2015).

Berdasarkan data Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang diterbitkan Kementerian Ketenagakerjaan untuk TKA China dari 1 Januari 2014 - Mei 2015 mencapai 41.365. TKA asal China yang saat ini masih berada  di Indonesia sebanyak 12.837.

Adapun sektor yang banyak diisi pekerja Tiongkok ini pada periode yang sama adalah perdagangan dan jasa, yakni mencapai  26.579 IMTA, kemudian industri 11.114 IMTA, dan pertanian 3672 IMTA.

Hanif menjelaskan, pihaknya telah  mengeluarkan instrumen aturan pengetatan TKA, yaitu Permenaker 16/2015 tentang Tata Cara Pengendalian dan Penggunaan TKA, untuk memperketat masuknya TKA ke Indonesia.

Dalam aturan itu, pemerintah mewajibkan syarat-syarat baru di antaranya,  TKA harus memiliki sertifikat kompetensi atau berpengalaman kerja minimal 5  tahun serta ada jabatan tertentu yangg tertutup bagi TKA. Ada juga jabatan yang hanya diberi izin kerja selama 6 bulan dan tidak boleh diperpanjang.

Selain itu, diatur pula soal ketentuan setiap merekrut 1 TKA di saat yang sama harus merekrut 10 tenaga kerja dalam negeri (TKDN)  serta adanya kewajiban TKA didampingi oleh TKDN dalam rangka alih teknologi dan ilmu, dll.

“Semua TKA harus taat terhadap regulasi ketenagakerjaan. Setiap TKA yang dipekerjakan di Indonesia harus berdasarkan jabatan dan sektor-sektor yang dibuka untuk masuknya TKA, dengan jangka waktu yang juga dibatasi untuk tiap-tiap jabatan. Bahkan ada juga jabatan yang sama sekali tertutup bagi TKA, “ kata Hanif.

Ia mengatakan, khusus untuk proyek pemasangan mesin oleh investor asing yang sifatnya jangka pendek (6 bulan dan tidak dapat diperpanjang), tidak ada  aturan tentang komposisi TKA berbanding TKDN. Namun, di luar itu kehadiran setiap TKA wajib menyerap dan didampingi 10 TKDN.

“Untuk  TKA yg bekerja di sektor manufaktur dan jasa lainnya yang berjangka  waktu 1 tahun, telah kami perbaiki regulasinya. Jika dalam Permenaker 12/2013 perbandingannya adalah 1:1, maka dalam Permen 16/2015 menjadi 1 TKA  harus dapat menyerap 10 TKDN," sebutnya.

Lebih lanjut Hanif menjelaskan mengenai berbagai kasus-kasus TKA yang selama ini ramai di perbincangkan. Salah satunya diantaranya adalah soal keberadaan TKA China yang bekerja di PT Cemindo Gemilang IMTA dan  PT Cimona, yang banyak dipersoalkan karena diduga melakukan pelanggaran dengan jumlah TKA ilegal yang diperkiraan besar.

“Tidak benar ada exodus karena kami cukup selektif mengeluarkan izin. Semua IMTA (Izin Memekerjakan Tenaga Asing) yang kami keluarkan  untuk kedua pabrik itu  sifatnya sementara (masa kerja hanya 6 bulan). Setelah itu mereka harus angkat kaki. Lagipula, para TKA itu kan hanya kerja di tahap konstruksi, bukan produksi. Jika konstruksi kelar, mereka segera pulang,“ kata Hanif.

Berdasarkan data Kemnaker, untuk PT Cemindo Gemilang IMTA yang diterbitkan adalah 17. Untuk PT Cimona, terbitkan 432, dengan batas waktu kerja hanya untuk 6 bulan kerja. Karena  6 bulan,  maka diperkirakan sebagian sudah pulang. Karena memang mayoritas dari mereka adalah tenaga kerja untuk tahap konstruksi saja.

“Mengenai adanya laporan mengatakan jumlah di lapangan lebih dari itu, maka Pengawas Naker sedang meneliti keberadaan mereka. Jika tidak sesuai prosedur, maka Kemnaker pasti mencabut  IMTAnya, lalu Imigrasi mendeportasi mereka, “ kata Hanif.

Adapun terkait mengenai tenaga kerja  pembangunan pabrik asal China di Lebak, Banten, ada LSM yang menyebut mereka meresahkan masyarakat sekitar karena buang air di sungai dan tidak sopan. Hanif meminta kejelasan LSM dan laporan yang dibuatnya. Yang bertanggungjawab paling depan atas dampak sosial seperti itu adalah perusahaan bersangkutan.

“Tolong nama LSM-nya diperjelas juga siapa. Saat ini pengawas ketenagakerjaan baik pusat maupun daerah sedang melakukan investigasi lapangan di perusahaan tersebut. Pengawas sudah minta perusahaan agar membangun MCK agar pekerjanya tidak BAB sembarangan,“ kata Hanif.

Pada kesempatan itu, Hanif juga mengklarifikasi mengenai  kabar  bahwa saat pembangunan Jembatan Suramadu, awalnya dikerjakan oleh pekerja Indoensia, kemudian diganti oleh pekerja Chiina. Hanif menjelaskan Proyek Suramadu adalah merupakan proyek G to G antara pemerintah China dan pemerintah Indonesia (Pemda Jawa Timur).

“Karena pemenang tendernya adalah perusahaan China, maka sejumlah tenaga ahli China didatangkan oleh perusahaan itu untuk menyelesaikan proyek Suramadu, yang mana keberadaan TKA ini dikombinasikan juga dengan keberadaan TKDN. Lagi pula harus dibedakan antara pemilik proyek dan kontraktornya," ucapnya.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

BCA Finance Buka Lowongan Kerja untuk D3-S1 Semua Jurusan, Cek Syaratnya

BCA Finance Buka Lowongan Kerja untuk D3-S1 Semua Jurusan, Cek Syaratnya

Work Smart
Pemerintah Sebut Tarif Listrik Seharusnya Naik pada April hingga Juni 2024

Pemerintah Sebut Tarif Listrik Seharusnya Naik pada April hingga Juni 2024

Whats New
Jasa Marga: 109.445 Kendaraan Tinggalkan Jabotabek Selama Libur Panjang Paskah 2024

Jasa Marga: 109.445 Kendaraan Tinggalkan Jabotabek Selama Libur Panjang Paskah 2024

Whats New
Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Earn Smart
7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

Whats New
'Regulatory Sandbox' Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

"Regulatory Sandbox" Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

Whats New
IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

Whats New
Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Whats New
Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Whats New
Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Whats New
Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Whats New
Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Whats New
Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Whats New
Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

BrandzView
Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com