Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Sudah Belajar 20 Tahun, Masa Pelindo II Enggak Malu..."

Kompas.com - 29/07/2015, 11:01 WIB
Yoga Sukmana

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Aksi mogok kerja para pekerja Jakarta International Container Terminal (JICT) Selasa (28/7/2015), dinilai sebagai puncak "gunung es" atas banyaknya persoalan di Pelabuhan Tanjung Priok. Salah satu persoalannya yaitu tak harmonisnya hubungan manajemen perusahaan Pelindo II dengan para pekerja di pelabuhan.

Friksi antara kedua pihak tersebut dilatarbelakangi keputusan meperpanjangan konsesi JICT selama 20 tahun kepada perusahaan asal Hongkong yaitu Hutchison Port Holdings (HPH). Para pekerja menolak perpanjangan itu karena dinilai berpotensi merugikan negara dan menuding Pelindo II telah melanggar berbagai ketentuan yang ada.

Menurut Ketua Asosiasi Logistik Indonesia Zaldy Ilham Masita, penolakan perpanjangan konsesi JICT yang dilakukan pekerja merupakan hal yang logis. Menurut dia, waktu 20 tahun adalah waktu yang cukup bagi anak bangsa mengelola terminal bongkar muat JICT secara mandiri tanpa harus di dikerjasamakan dengan asing.

"Masa Pelindo II enggak malu, untuk jadi jago kandang aja tidak mampu padahal sudah belajar 20 tahun dengan Hutchison," kata Zaldy saat dihubungi Kompas.com, Jakarta, Rabu (29/7/2015).

Sejak 1999, konsesi JICT diserahkan kepada perusahaan Hutchinson Port Holdings (HPH) dengan waktu 20 tahun. Masa konsesi itu akan habis 2019 nanti. Namun, Pelindo II selaku operator pelabuhan justru sudah memperpanjang konsesi selama 20 tahun sejak tahun lalu Sehingga konsesi JICT oleh HPH diperpanjang hingga 2039 nanti. (baca: Konsesi Diperpanjang, JICT Dikelola Perusahaan Asing Hingga 2039)

Menurut Zaldy, perpanjangan konsesi JICT sangat aneh dan akan berpotensi merugikan negara. Pasalnya, angka perpanjangan konsesi sebesar 200 juta dollar AS lebih kecil dibandingkan angka konsesi JICT tahun 1999 silam sebesar 234 juta dollar.

"Seharusnya KPK atau Bareskrim masuk untuk melakukan penyelidikan kenapa sampai Pelindo II ngotot memperpanjang kontrak sampai 2039 padahal bisa dikelola sendiri dan lebih menguntungkan untuk negara," kata dia.

Zaldy yakin aksi mogok pekerja JICT kemarin membuat kerugian yang tak kecil. Pasalnya, mayoritas ekspor dan impor Indonesia melalui JICT di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Oleh karena itu lanjutnya, Presiden Jokowi harus melihat persolan JICT sebagai hal yang serius.

"Presiden harus melakukan tindakan yang tegas kepada Pelindo II karena kejadian mogok ini bukan kejadian pertama kali, hampir setiap tahun pasti ada mogok di Piok yang berkaitan dengan Pelindo II. Ekonomi nasional bisa terganggu kalau ini dibiarkan terus," ucap dia.

Sebenarnya tak cuma Zaldy yang menginginkan JICT dikelola dan dikuasai oleh bangsa sendiri, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan juga memiliki pandangan yang sama. Bahkan, Jonan sempat membuat surat kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno yang usianya meminta Kementerian BUMN tak lagi mengusahakan terminal peti kemas dengan asing.

Menurut Jonan, 20 tahun adalah waktu yang cukup bagi Indonesia belajar mengelola pelabuhan secara mandiri.  (baca: Surati Menteri Rini, Jonan Minta Pelabuhan Tak Dikerjasamakan dengan Asing)

Namun, di lain kesempatan, Dirut Pelindo II R.J Lino mengatakan bahwa Pelindo II tak mampu mengoperasikan JICT sendiri. Menurutnya, selama ini Pelindo II tak pernah disiapkan untuk mengelola salah satu pelabuhan peti kemas terbaik di Asia tersebut. Pelindo II kata dia selama ini hanya disiapkan sebagai tuan atau sebatas pemilik lahan pelabuhan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com