Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Diminta Tak Gegabah Naikkan Cukai Rokok

Kompas.com - 03/08/2015, 16:01 WIB
Indra Akuntono

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun meminta pemerintah tidak gegabah dalam mengambil kebijakan menaikkan cukai rokok. Menurut Misbakhun, kenaikan cukai tersebut harus dilakukan secara obyektif dengan mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosialnya.

Misbakhun menjelaskan, pemerintah selalu menaikkan cukai rokok setiap tahun untuk menggenjot sumber penerimaan negara. Di sisi lain, kenaikan cukai selalu membawa dampak pada kenaikan harga rokok, penurunan produksi, dan akhirnya berdampak pada pemutusan hubungan kerja buruh di perusahaan rokok.

"Kenaikan cukai rokok membawa dampak PHK massal, dan ada perusahaan rokok yang gulung tikar. Kenaikan cukai rokok harus menghitung aspek ekonomi dan sosialnya juga," ucap Misbakhun, di Jakarta, Senin (3/8/2015).

Politisi Partai Golkar ini mencatat, pemerintah menargetkan mendapat Rp 139 triliun dari cukai rokok untuk tahun 2015. Target itu meningkat dibanding dengan realisasi pendapatan dari cukai rokok tahun 2014 yang mencapai Rp 116 trilun.

Sebagai dampak dari kenaikan cukai rokok, kata Misbakhun, perusahaan rokok seperti PT Bentoel di Malang memutus hubungan kerja sekitar 1.000 pegawainya, PT Gudang Garam memutus hubungan kerja sekitar 2.000 pegawainya dan PT HM Sampoerna memutus hubungan kerja hampir 5.000 pegawainya setelah pabrik di Lumajang dan Jember tutup.

Misbakhun juga menyampaikan bahwa jumlah pabrik rokok terus menurun selama lima tahun terakhir. Pada 2009, tercatat ada sekitar 4.900 pabrik rokok dan pada 2012 jumlahnya menyusut menjadi sekitar 1.000 pabrik rokok.

Bagi Misbakhun, pemerintah harus membuat terobosan untuk meningkatkan pendapatan negara melalui pemberian cukai pada objek cukai baru. Salah satu usulannya adalah agar pemerintah memberikan atau meningkatkan cukai pada produk minuman manis.

"Minuman ini peredarannya massif, dikonsumsi semua kelompok umur tanpa ada peringatan bahaya bagi pengonsumsinya," ucap Misbakhun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com