Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Koalisi CSO: Kerugian akibat Penyimpangan SDA di Kalimantan Capai Rp 30 Triliun

Kompas.com - 08/09/2015, 10:45 WIB
Kontributor Pontianak, Yohanes Kurnia Irawan

Penulis

PONTIANAK, KOMPAS.com - Berbagai penyimpangan masih mewarnai upaya pengelolaan sumber daya alam di Pulau Kalimantan.  Dari penyimpangan itu, negara berpotensi mengalami kerugian sekitar Rp 30 triliun selama periode 2009-2015.

Luas kawasan hutan Kalimantan yang dikuasai untuk kepentingan perusahaan pun masih tinggi, dengan total luas 47.731.226 hektar atau 88,9 persen dari total luas Kalimantan (53.544.820 Hektar).

Demikian disampaikan sejumlah organisasi masyarakat sipil (CIvil Society Organization/CSO) yang tergabung dalam Koalisi CSO Kawal Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) saat rapat konsolidasi di Pontianak, Kalimantan Barat, Minggu (6/9/2015).

Konsolidasi tersebut dilakukan menjelang koordinasi monitoring dan evaluasi (kormonev) dalam perumusan rencana aksi GN-SDA dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 8-9 September ini.

“Meskipun selama setahun ini terdapat beberapa upaya implementasi GN-SDA namun secara umum masih terdapat banyak kekurangan. Implementasi rencana aksi dari pemerintah provinsi tidak terlaksana dengan baik. Masih banyak yang tumpang tindih,” ungkap Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Selatan Dwitho Frestiandi, dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Senin (7/9/2015).

Senada dengan Dwitho, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Timur Fathur Rozikin menegaskan, pemerintah daerah belum tegas dalam mengimpementasikan gerakan tersebut. “Pemerintah daerah belum tegas. Malah cenderung kompromi dan setengah hati,” kata Fathur.

Saat ini lima provinsi di pulau Kalimantan sangat rentan terhadap potensi korupsi akibat tumpang tindih penerbitan perizinan di sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Hal itu tidak terlepas dari lemahnya pengawasan dan ketidakpastian hukum dari otoritas daerah.

Sebagai contoh, terjadi di Kalimantan Tengah. Dari total 15,5 juta hektar, seluas 4 juta hektar masuk perizinan pertambangan, 4,1 juta hektar untuk perkebunan, dan 12 juta hektar untuk izin kehutanan.

Nordin dari Save our Borneo (SOB) Kalimantan Tengah mengatakan, belum ada kemajuan yang serius terkait implementasi GN-SDA, terutama dalam penegakan hukum maupun biaya reklamasi dan pasca-tambang. Nordin menilai KPK belum sepenuhnya menangani pelanggaran yang terjadi di tingkat provinsi. “KPK masih sebatas mengaum, belum menerkam,” kata Nordin.

“Konteks penegakan hukum harus tegas. Semua izin yang tidak memiliki kelengkapan syarat harus di-reset. Baru dibuka kran lagi dengan perhitungan yang sangat ketat dan selektif,” tambahnya.

Konflik
Jumlah konflik pun cenderung meningkat. Untuk tahun 2015 saja, distribusi konflik merata di setiap Provinsi Kalimantan. Untuk Kalsel sendiri ada 15 kabupaten yang menjadi titik konflik kebun sawit ataupun hutan yakni Kotabaru, Tanah bumbu, Tranah Laut, Tabalong, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Barito Koala, dan Balangan.

Sedangkan di wilayah Kalimantan Timur, ada tiga kabupaten Mahakam Ulu, Berau, dan Kutai Timur untuk HPH.

Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Barat Anton P Widjaya mengungkapkan, alokasi wilayah kelola rakyat juga tidak optimal dan jikapun ada, jaminan yang bisa melindungi hak dan kewajiban masyarakat itu sendiri sangat minim.

“Untuk ke depan, pemerintah harus memprioritaskan alokasi wilayah kelola rakyat sembari berjalannya proses perbaikan implementasi GN-SDA,” kata Anton.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com