Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Transaksi Indonesia-China Bakal Gunakan Renminbi

Kompas.com - 13/11/2015, 12:45 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Mulai tahun depan, pemerintah akan mendorong penggunaan mata uang selain dollar AS dalam perdagangan Indonesia dengan China. Kebijakan ini menjadi upaya memperkuat cadangan devisa dan mengurangi ketergantungan terhadap dollar AS.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Bobby Hamzar Rafinus, mengatakan,  saat ini kesepakatan penggunaan mata uang yuan (renminbi) dan rupiah dalam perdagangan antara Indonesia dan China sudah ada.

Kesepakatan itu berupa penandatanganan perpanjangan bilateral currency swap arrangement (BCSA) pada 1 Oktober 2013 antara Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo dan Gubernur People’s Bank of China, Zhou Xiaochuan. Kerja sama itu senilai 100 miliar yuan atau setara Rp 175 triliun.

Perjanjian berlaku setiap tiga tahun dan dapat diperpanjang kembali. Kerja sama itu diperkuat dengan kesepakatan pinjaman senilai total 3 miliar dollar AS dari Bank Pembangunan China ke Bank Mandiri, BNI, dan BRI pada September lalu.

Pinjaman tersebut diberikan dalam jangka waktu 10 tahun, dan 30 persen dari dana tersebut akan diberikan dalam mata uang renminbi.

Dengan kesepakatan itu, Indonesia dan China sebenarnya sudah bisa menggunakan mata uang selain dollar AS dalam perdagangannya saat ini.

"Hanya, pelaksanaannya tergantung hubungan dagang antar-pengusaha dan perbankan negara masing-masing," kata Bobby kepada Kontan, Kamis (12/11/2015).

Selain tergantung pihak swasta, pemanfaatan kesepakatan itu juga tergantung perkembangan nilai tukar global. Menurut Bobby, untuk mendorong pemanfaatan kesepakatan ini, pemerintah akan membuat aturan khusus.

Aturan mengikat

Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawady menjelaskan, dengan perjanjian BCSA ini, jika pengusaha Indonesia mengimpor barang dari China, pembayarannya bisa menggunakan rupiah, tak perlu memakai dollar AS.  Jika China mengimpor barang dari Indonesia, pembayarannya menggunakan renminbi.

Namun, menurut Edy, pembahasan mengenai skema ini belum final, termasuk apakah akan berlaku mengikat pada tahun depan.

Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution berharap, kebijakan ini bisa segera diterapkan karena  menguntungkan bagi pelaku usaha di Indonesia, terutama importir. Darmin membenarkan, transaksi perdagangan di antara kedua negara tidak perlu menggunakan dollar AS.

"Arahnya, transaksi menggunakan renminbi dan rupiah, bukan dollar AS," katanya.

Ekonom Samuel Asset Manajemen, Lana Soelistyaningsih, menilai bahwa skema ini bisa berefek positif bagi devisa Indonesia. Terlebih lagi, impor Indonesia dari China mencapai 23 persen dari total impor non-migas. Artinya, skema transaksi ini bakal mengurangi permintaan dollar AS di dalam negeri.

Namun, dia mengingatkan perlunya antisipasi sejumlah dampak negatif dari penggunaan renminbi, apalagi Indonesia masih defisit dalam berniaga dengan China. "Jumlah yuan terbatas, beda dengan dollar AS yang melimpah," kata Lana.

Dengan kondisi itu, jika permintaan yuan meningkat, biaya untuk menggunakan yuan lebih mahal dari dollar AS. (Amailia Putri Hasniawati, Asep Munazat Zatnika, Uji Agung Santosa)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jasa Marga: 109.445 Kendaraan Tinggalkan Jabotabek Selama Libur Panjang Paskah 2024

Jasa Marga: 109.445 Kendaraan Tinggalkan Jabotabek Selama Libur Panjang Paskah 2024

Whats New
Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Earn Smart
7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

Whats New
'Regulatory Sandbox' Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

"Regulatory Sandbox" Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

Whats New
IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

Whats New
Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Whats New
Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Whats New
Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Whats New
Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Whats New
Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Whats New
Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Whats New
Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

BrandzView
Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Whats New
Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Whats New
Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com