Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

INDEF: TPP Tidak Sesuai dengan "Prototype" Ekonomi RI

Kompas.com - 24/11/2015, 13:36 WIB
Estu Suryowati

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Pakta Perdagangan Trans-Pasifik (Trans Pacific-Partnership/TPP) dinilai tidak sesuai dengan prototype ekonomi Indonesia, berdasarkan konstitusi ’45.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance, Enny Sri Hartati menilai hal tersebut disebabkan salah satunya Indonesia tidak ikut menyusun pakta tersebut.

Kondisi itu erbeda dengan Regional Comprehensive Economic Partnership Agreement (RCEP), sebuah kesepatakan yang didorong oleh ASEAN dan enam negara mitra, yaitu Australia, Cina, India, Jepang, Korea, dan Selandia Baru.

“Di RCEP itu sekalipun kita menyusun, posisi tawar kita relatif tidak banyak. Tapi kita masih ikut menentukan kebijakan apa yang di RCEP. Sementara di TPP ini kan sudah jadi, Indonesia tidak ikut sama sekali dalam menentukan kebijakan dan kesepakatan di situ,” kata Enny kepada Kompas.com, Jakarta, Selasa (24/11/2015).

Selain itu, Enny juga mengatakan bahwa dalam TPP banyak sekali regulasi yang sangat rigid. Pertama, TPP memiliki banyak standar yang harus diikuti, seperti standar lingkungan, standar produk untuk kesehatan dan sebagainya.

“Itu sangat rigid dan tinggi standarnya, karena memang anggotanya adalah negara-negara maju,” imbuh Enny.

Kedua, dalam TPP tidak ada boleh perlakuan pengecualian. Padahal dalam konstitusi RI diatur bahwa sektor-sektor prioritas dipegang oleh negara (BUMN).

RI juga menerapkan asas ekonomi kerakyatan di mana pelaku UMKM diberikan porsi sesuai kapasitasnya.

“Itu (di TPP) enggak boleh. Harus diperlakukan sama. Jadi apakah aturan seperti itu cocok dengan kebutuhan prototype ekonomi kita, begitu? Itu kan juga persoalan,” ucap Enny.

Enny juga menambahkan bahwa kesepakatan yang mengikat itu juga mendapat protes dari kalangan Amerika Serikat sendiri. Sebabnya, kesepakatan tersebut dianggap telah menggerus kedaulatan ekonomi.

Terpisah, Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong mengatakan, pemerintah masih butuh waktu untuk meneliti pro-kontra keikutsertaan dalam pakta tersebut.

Teks TPP baru dirilis ke publik tiga pekan lalu, tanggal 5 November 2015. “Ada 6.000 halaman. Akan butuh waktu meneliti, pro-kontra, atau penyesuaian yang harus kita lakukan untuk bisa memenuhi syarat-syarat TPP,” kata Thomas, di Jakarta, Selasa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com