Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pertumbuhan Ekonomi Global Tahun Depan Didorong Negara-negara Maju

Kompas.com - 21/12/2015, 16:39 WIB
Estu Suryowati

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Naiknya suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat, Federal Reserve, pekan lalu sebesar 25-50 basis poin menjadi sinyal pemulihan ekonomi negeri Paman Sam itu.

"Ekonomi global ke depan yang biasanya dimotori negara-negara berkembang, utamanya dari China, sekarang berubah akan didorong negara-negara maju," kata Leo Putra Rinaldy, Senior Economist Mandiri Sekuritas, di Jakarta, Senin (21/12/2105).

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat akan terus menanjak hingga 2020. Sebaliknya, ekonomi China diprediksikan terus turun.

Leo mengatakan, ekonomi China yang sepanjang 2005-2008 tumbuh rata-rata 12 persen, diprediksikan hanya mampu tumbuh sebesar rata-rata 6,3 persen dalam lima tahun ke depan.

Berbanding terbalik dengan kondisi China, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yang selama 2005-2008 mencetak rata-rata tumbuh 1 persen, diprediksi oleh IMF akan tumbuh rata-rata 2,5 persen pada 2015-2020.

"Dampak karena didorong negara-negara maju, maka pertumbuhan ekonomi global tidak akan tinggi lagi. Yang pada 2005-2008 rata-rata tumbuh 4,8 persen, dalam lima tahun ke depan hanya akan tumbuh 3,8 persen," ujar Leo.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia diakui selama ini mengandalkan sumber daya alam (komoditas). Permintaan terhadap komoditas dari China diperkirakan menurun seiring dengan melambatnya perekonomian negeri tirai bambu itu, di samping perubahan struktur ekonominya dari investasi ke konsumsi domestik.

"Amerika Serikat perekonomiannya tumbuh namun yang mereka butuhkan bukan komoditas," kata Leo.

Atas dasar itu, perlambatan pertumbuhan ekonomi China dampaknya ke Indonesia lebih besar dibandingkan dengan kenaikan Fed Fund Rate (FFR).

Pengaruh kenaikan FFR ke ekonomi Indonesia akan lebih signifikan apabila tidak dilakukan secara gradual, atau langsung.

"Kalau China sampai tumbuh di bawah 6 persen, impact ke Indonesia tidak hanya di pasar finansial tapi ke rupiah, growth dan sektor riil. China memberikan resiko lebih besar dibandingkan FFR," pungkas Leo.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com