"Jangan menurunkan atau menaikkan di luar kesepakatan periodisasinya, atau hanya didorong oleh pencitraan. Hal ini akan membingungkan masyarakat," kata Satya kepada Kompas.com, Jakarta, Kamis (24/12/2015).
Satya mengatakan, sesuai dengan perintah Undang-undang Dasar 1945, pemerintah tidak menganut sistem ekonomi pasar. (Baca: Harga Premium Turun Jadi Rp 7.150, Solar Jadi Rp 5.950)
Menurut dia, ada saatnya pemerintah memberikan subsidi sehingga harga BBM menjadi lebih rendah dibandingkan harga aktual (dunia).
"Adakalanya juga rakyat mensubsidi pemerintah, sehingga harga BBM-nya lebih tinggi dari harga rata-rata aktual (dunia)," ujar Satya.
Atas dasar itu, lanjut dia, pemerintah dituntut transparan dan konsisten dalam evaluasi kebijakan harga BBM sehingga tidak membingungkan masyarakat.
Hal senada disampaikan Direktur Reforminers Institute Priagung Rakhmanto. Ia menilai bahwa penurunan harga BBM jenis Premium dan Solar yang tak signifikan per 5 Januari 2016 nanti sebenarnya bemula dari inkonsistensi pemerintah mengevaluasi harga.
"Pada saat harga naik tidak dinaikkan, tapi Pertamina disuruh menanggung. Ini kan tidak pada tempatnya, harusnya kan APBN yang nanggung," kata Priagung, Jumat (25/12/2015).
Inkonsistensi pemerintah dalam mengevaluasi harga BBM ini dinilainya menciptakan ketidakjelasan pada publik.
"Memang menjadi tidak jelas. Sebenarnya jadi berapa kalkulasinya, menjadi tidak tahu," kata dia lagi.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui, penurunan harga BBM jenis premium tidak berdampak besar. Sebab, penurunannya hanya Rp 150 per liter. (Baca: Darmin Akui Penurunan Harga Premium Dampaknya Kecil)