"Kalau persoalannya adalah mekanisme pemungutan dan pengelolaan, dan jika memang harus masuk dalam APBN, ya mudah saja. Nanti, melalui mekanisme APBN P kita akan usulkan kepada DPR. Undang-undang Nomor 30 tahun 2007 sebenarnya sudah diterjemahkan melalui Kebijakan Energi Nasional (KEN)," ucap Sudirman.
Sudirman mengakui, pemerintah perlu membuat aturan khusus tata cara pemungutan dan pemanfaatan Dana Ketahanan Energi, termasuk prioritas pemanfaatannya.
Dia menyatakan, dalam persidangan Januari 2016 nanti, Kementerian ESDM juga akan mengkonsultasikan hal tersebut kepada Komisi VII DPR RI.
Sudirman menjelaskan produksi minyak mentah yang terus menurun, ditambah kilang pengolahan yang sudah uzur membuat Indonesia mengalami ketergantungan tinggi terhadap impor bahan bakar minyak (BBM).
Di sisi lain, potensi energi baru dan terbarukan (EBT) yang demikian besar belum terolah dengan baik lantaran amanat Undang-undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi yang tidak dijalankan.
"Situasi pengelolaan energi kita hari ini ke depan sudah harus berbeda karena memang tantangannya juga berbeda. Yang tidak tepat di masa lalu tentu harus dikoreksi, yang baik harus dipertahankan. Rezim subsidi harus secara bertahap bergeser menjadi rezim netral subsidi, dan suatu saat dikenakan pungutan premi atas BBM," ujar Sudirman.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha menuturkan, agar mempunyai payung hukum yang jelas, Dana Ketahanan Energi tersebut sebaiknya dimasukkan dalam pembahasan APBN P 2016.
Hal itu mengingat dana pungutan harus diatur melalui Undang-udang dan dipertanggungjawabkan melalui audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Pemerintah tidak bisa hanya bersandar pada Undang-undang Energi terhadap pungutan kepada rakyat, walaupun ide besar tersebut sangat baik untuk kelangsungan energi kita ke depan," kata Satya kepada Kompas.com, Minggu (27/12/2015).