Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/02/2016, 19:51 WIB
Yoga Sukmana

Penulis

JAKARTA, KOMPAS com — Pengesahan Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menuai reaksi beragam.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menolak keras UU tersebut.

Bahkan, Apindo menyebutnya sebagai pemalakan terhadap pengusaha dan pekerja.

"Uang itu bisa diambil setelah pensiun. Kalau saya bilang ini (Tapera) malak orang," ujar Ketua Apindo Haryadi Sukamdani kepada Kompas.com, Jakarta, Rabu (24/2/2016).

Padahal, kata Haryadi, dalam BPJS Ketenagakerjaan, 30 persen iuran Jaminan Hari Tua (JHT) sudah dialokasikan untuk mendukung program perumahan pekerja.

Saat ini ucap dia, dana JHT yang terkumpul mencapai Rp 180 triliun.

Artinya, ada Rp 54 triliun dana JHT yang bisa digunakan untuk mendukung pembangunan perumahan untuk pekerja.

Dalam JHT, pengusaha membayar 3,7 persen, sedangkan pekerja 2 persen.

Setelah 10 tahun, pekerja bisa mengambil maksimal 30 persen dari total JHT.

Sementara dalam Tapera, uang itu hanya bisa diambil setelah pensiun.

Sementara Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal belum mendukung penuh UU Tapera.

Sebab, berdasarkan informasi yang ia dapat, pekerja yang boleh ikut Tapera harus memiliki gaji minimal Rp 4 juta per bulan.

"Ini ngawur karena undang-undang dibuat untuk kepentingan pengembang, dengan menjual rumah secara paksa melalui undang-undang," kata Said.

Maunya KSPI, pekerja yang memiliki gaji upah minimum juga bisa menjadi anggota Tapera. Dengan begitu, ia yakin bahwa tujuan perumahan untuk rakyat bisa tercapai.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com