Benci tapi rindu. Begitulah yang kiranya pas untuk menggambarkan bagaimana persepsi BPJS Kesehatan di benak masyarakat.
Di satu sisi, layanan tersebut memang sangat dibutuhkan masyarakat. Bahkan seorang eksekutif perusahaan asuransi swasta pernah mengakui, proteksi yang diberikan BPJS Kesehatan benar-benar "ampuh".
Dengan iuran yang minimalis, peserta bisa dapat asuransi kesehatan dengan coverage yang benar-benar maksimal dan boleh dibilang tak terbatas.
Di sisi lain, ngantrinya itu looh... Belum lagi petugas yang melayani pasang muka cemberut.
Saya sendiri pernah merasakan, betapa untuk mendapatkan layanan ini, benar-benar butuh perjuangan.
Suatu hari, saya datang ke dokter gigi di klinik fasilitas kesehatan (faskes) tingkat I dengan fasilitas BPJS Kesehatan. Dokter muda itu lantas memberi rujukan perawatan lanjut ke RSUD Depok.
Sebelum ke rumah sakit rujukan, saya sempat membandingkan biaya di RS swasta untuk layanan serupa. Ternyata, biaya yang harus dibayarkan sekitar Rp 3 juta. Itu pun kalau asuransi kantor menutup semua. Sementara dengan BPJS Kesehatan, biayanya gratis..tis..
Dengan mantap, saya pilih layanan BPJS Kesehatan.
Pukul 07.00 pagi saya sudah sampai di depan loket. Suasana sepi. Saya lega, karena tak sia-sia berangkat pagi.
Celingak-celinguk. Tiba-tiba seorang satpam menghampiri, dan bilang, bahwa nomor antrean pasien untuk peserta BPJS Kesehatan sudah habis. Katanya, jika tidak dibatasi, pasien bakal membeludak dan tak tertangani.
"Kalau mau berobat pakai BPJS Kesehatan, datang saja jam 4 pagi mas," ujar pak satpam itu dengan polos.
Saya tepok jidat dan langsung balik kanan.
Ya, layanan BPJS Kesehatan memberikan kesempatan kepada siapapun untuk bisa menikmati layanan kesehatan. Tak terkecuali masyarakat miskin.
Bagaimanapun, hadirnya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS Kesehatan ini diakui telah mampu merevolusi sistem jaminan kesehatan di Indonesia.