Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang P Jatmiko
Editor

Penikmat isu-isu ekonomi

Dengan BPJS Kesehatan, Siapapun Boleh Sakit..!!

Kompas.com - 17/03/2016, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata
JAKARTA, KOMPAS.com - Ribut-ribut soal naiknya iuran BPJS Kesehatan bagi peserta mandiri kembali memunculkan sebuah pertanyaan klasik: apakah juga diikuti oleh perbaikan layanan ke peserta?

Meski pertanyaan berulang, jawabannya selalu bisa dipastikan: tidak. 

Benci tapi rindu. Begitulah yang kiranya pas untuk menggambarkan bagaimana persepsi BPJS Kesehatan di benak masyarakat.

Di satu sisi, layanan tersebut memang sangat dibutuhkan masyarakat. Bahkan seorang eksekutif perusahaan asuransi swasta pernah mengakui, proteksi yang diberikan BPJS Kesehatan benar-benar "ampuh".

Dengan iuran yang minimalis, peserta bisa dapat asuransi kesehatan dengan coverage yang benar-benar maksimal dan boleh dibilang tak terbatas.

Di sisi lain, ngantrinya itu looh... Belum lagi petugas yang melayani pasang muka cemberut.

Saya sendiri pernah merasakan, betapa untuk mendapatkan layanan ini, benar-benar butuh perjuangan.

Suatu hari, saya datang ke dokter gigi di klinik fasilitas kesehatan (faskes) tingkat I dengan fasilitas BPJS Kesehatan. Dokter muda itu lantas memberi rujukan perawatan lanjut ke RSUD Depok.

Sebelum ke rumah sakit rujukan, saya sempat membandingkan biaya di RS swasta untuk layanan serupa. Ternyata, biaya yang harus dibayarkan sekitar Rp 3 juta. Itu pun kalau asuransi kantor menutup semua. Sementara dengan BPJS Kesehatan, biayanya gratis..tis.. 

Dengan mantap, saya pilih layanan BPJS Kesehatan.

Pukul 07.00 pagi saya sudah sampai di depan loket. Suasana sepi. Saya lega, karena tak sia-sia berangkat pagi.

Celingak-celinguk. Tiba-tiba seorang satpam menghampiri, dan bilang, bahwa nomor antrean pasien untuk peserta BPJS Kesehatan sudah habis. Katanya, jika tidak dibatasi, pasien bakal membeludak dan tak tertangani.

"Kalau mau berobat pakai BPJS Kesehatan, datang saja jam 4 pagi mas," ujar pak satpam itu dengan polos. 

Saya tepok jidat dan langsung balik kanan.

Ya, layanan BPJS Kesehatan memberikan kesempatan kepada siapapun untuk bisa menikmati layanan kesehatan. Tak terkecuali masyarakat miskin.

Bagaimanapun, hadirnya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS Kesehatan ini diakui telah mampu merevolusi sistem jaminan kesehatan di Indonesia.


Sebelum JKN hadir, tidak dimungkiri bahwa hanya mereka yang berduit saja yang bisa menikmati layanan kesehatan.

Sebagaimana yang ditulis pada buku berjudul: Orang Miskin Dilarang Sakit (2004) oleh Eko Prasetyo terbitan Resist Book, Yogyakarta. Bahwa kesehatan telah menjadi sebuah komoditas industri.

Harga obat dan rumah sakit membubung tinggi tanpa terkontrol, menutup peluang orang-orang miskin mendapatkan layanan kesehatan. Penolakan pasien miskin oleh rumah sakit telah jadi berita saban hari.

Berbagai aksi keprihatinan atas sistem kesehatan di Indonesia banyak disuarakan.

Hingga akhirnya, sekitar sepuluh tahun setelah buku itu ditulis, lahirlah perubahan besar-besaran pada sistem jaminan kesehatan Indonesia.

Digulirkan di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, BPJS Kesehatan membuka kesempatan kepada siapapun untuk mengakses layanan kesehatan. Terimakasih Pak Beye..

BPJS Kesehatan vs Obamacare

Sebagai satu-satunya institusi pelaksana JKN, BPJS Kesehatan tampak kewalahan dengan banyaknya peserta. Sebelumnya, saat masih menjadi PT Askes, peserta yang dilayani hanya dari kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Saat berubah menjadi BPJS Kesehatan, peserta yang dilayani adalah seluruh anggota masyarakat, termasuk pegawai swasta. Total jumlah peserta hingga bulan ini telah mencapai 163,3 juta peserta.

Praktis hal ini membuat infrastruktur yang dimiliki menjadi terbatas seiring dengan banyaknya peserta.

Klinik dan rumah sakit provider bagi BPJS Kesehatan, jumlahnya tak sebanding dengan jumlah peserta. Akibatnya, terjadi antrean yang panjang dan membuat pasien makin tidak nyaman.


Terbatasnya klinik dan rumah sakit provider BPJS Kesehatan inilah yang menjadi keluhan utama para peserta. Ceritanya akan lain jika klinik dan rumah sakit yang melayani jumlahnya lebih banyak dari saat ini.

Kondisi ini berbeda dengan program kesehatan pemerintah AS, atau yang akrab disebut Obamacare.

Jika di Indonesia pelaksana program jaminan kesehatan hanya satu institusi (yakni BPJS Kesehatan), di AS pelaksana programnya adalah asuransi swasta (yang disubsidi pemerintah) dengan jumlah lebih dari satu institusi.

Melalui Affordable Care Act, perusahaan asuransi swasta di AS wajib menyediakan layanan kesehatan dasar bagi warga negara tersebut. Perusahaan asuransi juga dilarang menolak pasien yang mendaftar sebagai peserta Obamacare, meskipun si pasien sedang sakit.

Dengan banyaknya operator, otomatis jumlah klinik dan rumah sakit yang melayani pasien juga lebih banyak. Sejauh ini tidak ada laporan mengenai terbatasnya jumlah klinik atau rumah sakit yang melayani pasien.

Satu-satunya keluhan yang muncul adalah server yang down, akibat banyaknya pendaftar online pada waktu yang bersamaan saat program ini diluncurkan.

Praktisi asuransi nasional Julian Noor saat berbincang dengan Kompas.com mengatakan, jika keluhan utama peserta BPJS Kesehatan adalah layanannya yang serba minimalis, maka kiranya dipertimbangkan untuk melibatkan asuransi swasta dalam menangani pasien yang jumlahnya makin membengkak seperti sekarang.

Peran asuransi swasta tidaklah menjadi operator utama yang sejajar dengan BPJS Kesehatan. Akan tetapi sebagai mitra jika ada peserta yang ingin mendapatkan layanan yang lebih baik.

"Misalnya kalau ada peserta yang top up, peserta tersebut bisa berobat di klinik-klinik yang menjadi provider asuransi swasta dengan layanan yang lebih baik dan tak perlu antre lama. Di sinilah kiranya perlu dipertimbangkan peran asuransi swasta menjadi mitra BPJS Kesehatan," ujarnya.

Memang sah-sah saja bagi BPJS Kesehatan untuk bekerja sendiri melayani masyarakat sebagai pelaksana JKN. Toh UU juga memberi mandat BPJS Kesehatan sebagai satu-satunya operator JKN. 

Namun jika mau kreatif dan mengedepankan kepuasan peserta, harusnya BPJS Kesehatan melakukan terobosan. Di mana salah satunya adalah dengan menggandeng asuransi swasta.

Di luar itu, masih banyak opsi lain yang kiranya bisa dilakukan agar layanan BPJS Kesehatan lebih baik.

Kegaduhan yang terjadi beberapa hari terakhir akibat naiknya iuran, pada dasarnya berawal dari ketidakpuasan terhadap layanan BPJS Kesehatan yang serba minimalis.

BPJS Kesehatan hadir untuk menghapus stigma bahwa orang miskin tidak boleh sakit. Namun, institusi ini harusnya juga paham bahwa tidak bisa memukul rata level layanannya antara satu kelompok peserta dengan peserta yang lain.

Ya, sekarang semua orang di Indonesia boleh sakit. Tapi, sangat tidak pas ketika si sakit masih harus "berjuang" untuk memperoleh layanan BPJS Kesehatan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com