Dua putra terbaik Indonesia, Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden ke-7 Joko Widodo seperti terlibat perang dingin dalam sepekan terakhir.
Meskipun tidak langsung frontal, pernyataan dan tindak tanduk keduanya tampak jelas seperti saling sindir.
Peristiwa yang jadi gunjingan masyarakat itu bermula saat SBY, yang kini menjabat Ketua Umum Partai Demokrat mengkritik pemerintahan Jokowi yang jor-joran membangun infrastruktur tanpa memperhatikan kondisi fiskal.
Kritik itu disampaikan SBY saat dirinya melakoni rangkaian Tour de Java Partai Demokrat, tepatnya di Pati, Rabu (16/3/2016).
Menurut SBY, pemerintah sebaiknya tidak menguras anggaran di sektor infrastruktur. Apalagi, kondisi ekonomi tanah air sedang lesu.
"Saya mengerti, bahwa kita butuh membangun infrastruktur. Dermaga, jalan, saya juga setuju. Tapi kalau pengeluaran sebanyak-banyaknya dari mana? Ya dari pajak sebanyak-banyaknya. Padahal ekonomi sedang lesu," lanjut dia.
SBY pun meminta pemerintah mengurangi belanja infrastruktur dengan menundanya untuk dikerjakan di tahun mendatang.
(Baca : Demokrat Kritik Jokowi yang Besar-besaran Pakai APBN untuk Infrastruktur)
Publik membaca, langkah Jokowi ke Hambalang merupakan balasan atas kritik SBY soal infrastruktur.
Sebab, proyek Hambalang digelar mulai tahun 2010, saat SBY berkuasa. Proyek senilai Rp 1,2 triliun itu akhirnya mangkrak karena menjadi ajang korupsi sejumlah petinggi Partai Demokrat saat itu. KPK pun meminta pemerintahan SBY tidak meneruskan proyek hingga seluruh kasus hukumnya berkekuatan hukum tetap (inkracht)
Dengan kunjungannya ke Hambalang, Jokowi seolah ingin mengatakan kepada SBY, “Tak perlu mengkritik saya soal infrastruktur karena infrastruktur yang Anda bangun pun mangkrak.”
Pertanyaannya sekarang, mengapa SBY mengkritik Jokowi soal infrastruktur dan mengapa Jokowi seperti tidak diterima dikritik soal infrastruktur.
Jelas infrastruktur menjadi kata kuncinya. Mengapa SBY tidak mengkritik secara umum soal APBN 2016 yang tertekan? Mengapa pula, Jokowi, yang biasanya mudah saja menerima kritik, kali ini ‘agak sensi’ oleh kritikan SBY.
Ya, infrastruktur memang kata kuncinya.
Sebab, infrastrukturlah yang menjadi pembeda paling nyata antara pemerintahan Jokowi dan SBY dalam konteks pembangunan dan pengelolaan APBN.
Ketika mulai memerintah pada akhir 2014, hal pertama yang dicanangkan Jokowi adalah menggenjot infrastruktur.
Pada APBN 2015, anggaran infrastruktur pun meningkat drastis menjadi Rp 290,3 triliun. Angka tersebut naik sekitar Rp 84 triliun dibandingkan APBN 2014, yang merupakan tahun terakhir pemerintahan SBY.
Selama pemerintahan SBY, anggaran infrastruktur tidak pernah naik setinggi itu.
Alasan Jokowi jelas, jika tidak melakukan terobosan terkait anggaran infrastruktur, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan segitu-segitu saja, tidak bisa lebih tinggi lagi, hanya di kisaran 5 - 6 persen per tahun. Dengan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 7 – 8 persen per tahun.
Selama berpuluh-puluh tahun, pembangunan Indonesia memang terhambat oleh minimnya infrastruktur. Jalan sangat kurang, bandara minim, pembangkit listrik tidak memadai, pelabuhan relatif sedikit.
Akibat kurangnya infrastruktur, biaya logistik Indonesia menjadi amat mahal, bahkan menjadi salah satu yang tertinggi di dunia. Dampaknya, daya saing Indonesia menjadi rendah.
Gebrakan yang dilakukan Jokowi tersebut jelas merupakan pukulan bagi 10 tahun pemerintahan SBY.
Sebab, selama 10 tahun memerintah, SBY selalu kesulitan meningkatkan anggaran infrastruktur secara signifikan. Alasannya, penerimaan negara terbatas dan sudah habis untuk anggaran rutin, subsidi, dan bayar utang.