Kemarin saya berbincang santai dengan presdir. Topiknya tentang SDM perusahaan. Banyak keluhan dari orang Jepang soal rendahnya inisiatif dan motivasi karyawan. Saya ingin berkontribusi memperbaikinya.
Presdir saya bilang, ”Masalahnya memang tidak sepihak, ada di 2 pihak. Pihak manajemen, orang-orang Jepang juga bermasalah. Yang sering terjadi bukan komunikasi, tapi instruksi searah. Orang harus ikut apa mau kita (orang Jepang) saja,” kata dia.
“Ya, saya paham itu. Tapi kalau saya, sebagai karyawan saya berada dalam posisi tawar rendah. Tapi bagaimanapun situasi itu tidak boleh membuat saya berhenti bekerja dengan baik,” kata saya. Lalu saya ceritakan perngalaman waktu kuliah di Jepang dulu.
Pertama kali tiba di Jepang, waktu mulai kerja riset di kampus, Sensei saya bilang,”Kamu jangan bawa budaya tropismu ke sini, ya.”
Ha? Maksudnya apa nih? “Ya, kan orang-orang tropis itu pemalas,” jelas Sensei.
Aduh. Mau saya bantah, tapi saya batalkan. Percuma bertengkar, lebih baik saya unjuk kerja saja.
Hari-hari pertama kerja di bawah supervisi Sensei seperti neraka. Ia melihat saya dengan persepsi tadi, sehingga kesalahan kecil saja pun yang saya lakukan jadi masalah besar buat dia. Hal-hal kecil membuat dia marah, menceramahi saya dengan hal-hal dasar seperti memarahi anak kecil. Saya diam, dan minta maaf.
Ada satu hal lagi yang sering diomelkan Sensei, yaitu soal jam kerja. Ia meminta saya masuk ke kampus juga pada hari Sabtu, kalau bisa Minggu juga. Saya menolak.
“Lihat itu orang-orang Cina, Korea, dan orang Jepang. Mereka kerja keras semua, Sabtu Minggu juga masuk. Kalau tidak begitu kamu tidak bisa jadi doktor,” omelnya.
Saya tidak membantah, tapi tak pernah mematuhinya. Saya waktu itu pengantin baru, istri saya baru datang ikut saya ke Jepang. Sehari-hari dia terkurung sendiri di rumah. Kalau Sabtu Minggu saya mesti ke kampus juga, kasihan istri saya.
Tapi saya tetap bisa membuktikan pada Sensei bahwa saya bukan orang tropis yang pemalas. Beberapa bulan bekerja saya sudah menghasilkan data untuk dipakai Sensei presentasi di konferensi internasional.
Satu set data berikutnya, saya sendiri yang pergi presentasi. Mulanya Sensei keberatan.
“Kita tidak punya biaya untuk perjalanan kamu,” katanya.
“Tidak perlu khawatir, saya bisa usahakan dana sendiri,” jawab saya.
“Ha? Dari mana?”