Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Murniati Mukhlisin
Praktisi Ekonomi Syariah

Pakar Ekonomi dan Bisnis Digital Syariah/Pendiri Sakinah Finance dan Sobat Syariah/Dosen Institut Tazkia

Mengeluh tanda Tak Syukur

Kompas.com - 26/03/2016, 09:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Ada beda tipis antara mengeluh dan berharap lebih baik di masa depan. Mari kita baca pernyataan berikut:

“Alhamdulillah, kita sudah diberikan rezeki sebanyak ini, kalau mau makan selalu ada yang bisa dimasak, anak–anak tumbuh sehat, biaya sekolah selalu dapat diselesaikan dan angsuran hutang lancar. Ke depannya, kita harus punya pendapatan lebih supaya bisa banyak lagi bersedekah, mampu beli mobil untuk bantu usaha, merenovasi rumah untuk buat kamar anak-anak, dan mulai menabung buat pergi haji ya pak.”

bandingkan dengan:

“Alhamdulillah, kita sudah diberikan rezeki sebanyak ini, kalau mau makan selalu ada yang bisa dimasak, anak–anak tumbuh sehat, biaya sekolah selalu dapat diselesaikan dan angsuran hutang lancar.  Maunya kita sekarang sudah mampu beli mobil karena susah kalau mau dagang kesana kemari. Juga merenovasi rumah karena sudah banyak banget yang bocor, dan mulai menabung buat pergi haji ya pak, supaya sama kayak tetanga-tetangga kita yang sudah pergi haji.”

Ada bedanya?

Sekilas dua ungkapan di atas adalah sama namun di ungkapan kedua mengandung keluhan yang terkadang tidak kita sadari.  Padahal mengeluh banyak sekali dampak negatifnya seperti tingkat stres, sakit hati, dan akhirnya timbul berbagai penyakit. Dibandingkan bersyukur, yang menjadikan pikiran ringan, banyak senyum dan tentunya hidup sehat dan lebih produktif.

Latihan

Tim Ferriss, seorang penulis pernah melalukan eksperimen supaya tidak mengeluh selama 21 hari. Caranya, dia harus memakai gelang silikon warna ungu untuk mengingatkannya supaya jangan mengeluh, jika sekali dia mengeluh, maka gelangnya harus dipindahkan ke pergelangan tangan lainnya dan mulai menghitung dari hari pertama lagi.

Ternyata berhasil! Tim  tidak pernah mengeluh lagi sejak saat  itu karena latihan tersebut. dan tidak pernah pakai gelangnya lagi. Katanya: I Went 21 Days Without Complaining and It Changed My Life. Namun selang beberapa waktu, Tim harus memakai gelangnya lagi karena dia akan menjalankan sebuah proyek besar sehingga dia khawatir dia akan mengeluh.

Ternyata Islam mengajarkan lebih banyak latihan, bukan hanya 21 hari, mulai dari wudhu, sholat dan doa tiap hari, hingga puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan. Latihan supaya tidak mengeluh ketika berwudhu walau dingin di kala subuh, tidak mengeluh ketika air di masjid terkadang tidak lancar.

Dalam sholat pun, Muslim diajarkan untuk melakukan gerakan sholat secara khusyuk penuh zikir dan doa, tidak ada kesempatan untuk mengeluh walau kipas angin masjid tidak dingin, walau ada yang gatal di badan yang harus digaruk. Itulah sesungguhnya shalat yang terjaga.

Dasyatnya latihan tidak mengeluh ini juga dilatih selama sebulan penuh di bulan puasa yang tidak akan lama lagi hadir. Kita dilatih supaya tidak mengeluh ketika harus bangun sahur, tidak mengeluh lapar dan dahaga ketika belum sampai waktu Maghrib, tidak mengeluh dengan apa yang ada di atas meja ketika berbuka puasa, tidak mengeluh ketika harus berdesak – desakan di masjid untuk bertarawih. Semuanya dilakukan untuk memastikan sahnya puasa sebulan itu.

Mengeluh, bolehkah?

Teryata mengeluh memang fitrah manusia, seperti yang telah disebutkan dalam Surah Al-Ma’arij (70): 19-21: “Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah. Dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir.” Dalam Tafsir Ibnu Katsir, ayat–ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT menceritakan perihal manusia dan watak – watak buruk pembawanya yaitu mengeluh dan kikir.

Namun di ayat selanjutnya (Ayat 22 dan 23) disebutkan sebuah pengecualian bahwa manusia dapat mengatasi sifat mengeluh dan kikir ini yaitu: “Kecuali orang–orang yang melaksanakan shalat. Mereka yang tetap setia melaksanakan shalatnya.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com