KOMPAS.com - Menyeruput kuah soto tauto di warung milik Haji Romani yang kini terletak di kawasan International Batik Center (IBC) Jalan Akhmad Yani, Pekuncen, Wiradesa, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah pada Minggu (3/4/2016) siang yang terik itu adalah kesempatan istimewa. Tadinya, warung makanan khas Pekalongan itu ada di dalam Kota Pekalongan. Persisnya di Jalan Haji Mansyur, tak jauh dari Stasiun Kereta Api Pekalongan. Lantaran si empunya lahan Jalan Haji Mansyur, PT Kereta Api Indonesia (KAI) hendak memanfaatkan tanahnya, pindahlah tempat usaha Haji Romani itu ke IBC.
Tapi tak mengapa. Soto dengan campuran potongan daging sapi berikut bumbu tauco di dalamnya tetap menjadi kenikmatan sederhana. Suasana siang itu, menurut saya, menjadi lebih nikmat saat saya berkesempatan mengobrol lepas dengan M. Subechi atau yang karib disapa Pak Haji.
Sementara berbincang berbagai hal soal usaha kreatif Subechi di bidang tekstil, mata saya terpaku pada Jalan Akhmad Yani. Jalan selebar sekitar sepuluh meter itu memanjang ke timur dari arah barat atau dari arah Kabupaten Pemalang masuk ke Kota Pekalongan. Di Kota Pekalongan, jalan tersebut agak berbelok sedikit ke utara dan namanya menjadi Jalan Gajah Mada. Sampai kini, jalan yang membelah Kabupaten dan Kota Pekalongan itu lazim dikenal sebagai potongan jalan raya pantai utara (pantura) yang membentang dari bagian barat Pulau Jawa hingga ke Timur.
Kala kami berbincang, jalan dua arah itu penuh sesak oleh berbagai jenis kendaraan. Ada truk-truk kontainer bertubuh besar. Ada bus-bus pengangkut penumpang. Ada minibus angkutan kota. Ada bus berukuran tanggung. Ada pula sepeda motor, becak, hingga kereta angin alias sepeda.
Secara kasat mata saja, permukaan jalan tersebut lebih banyak bergelombang. Bisa jadi, jalanan aspal itu tak kuat menahan beban berat kendaraan yang melintas seperti disebutkan tadi.
Terus terang, kata saya kepada Subechi, jalanan Kota Pekalongan juga terdengar lebih bising karena berbagai jenis kendaraan yang melintas tadi. Belum lagi polusi asap kendaraan dan debu di sepanjang jalan tersebut.
Ada persimpangan lampu lalu lintas tak jauh dari IBC. Menurut Subechi, kalau ada antrean sepuluh truk kontainer di belakang lampu lalu lintas itu, sudah bisa dipastikan kondisi jalan akan macet. "Bayangkan saja, macet itu," kata pria murah senyum tersebut.
Saya merasa takjub dengan cerita kemacetan itu. Ternyata, antrean kendaraan bukan pengalaman baru di Pekalongan. "Lho, Pekalongan enggak punya ringroad (jalan lingkar luar) ya, Pak?" tanya saya kepada Subechi.
Di luar dugaan, pertanyaan saya itu justru mengubah air muka Subechi. Senyum di wajahnya berangsur surut. Sebagai ganti, mimik muka seriuslah yang memenuhi pandangan saya tatkala menatap wajahnya. "Masak saya harus menunggu lama lagi," begitu jawabannya.