Kinerja buruk industri perbankan selama tahun 2015 terus berlanjut hingga kini. Buktinya, selama triwulan I 2016, kinerja perbankan masih lemah.
Selama periode itu, total laba bersih perbankan nasional sebesar Rp 28,95 triliun, turun 2,3 persen dibandingkan akhir triwulan I 2015 yang sebesar 29,63 triliun.
Penurunan laba tersebut dipicu secara tidak langsung oleh membengkaknya kredit bermasalah (non performing loan/NPL).
Kredit digolongkan sebagai NPL tatkala debitor mulai tak lancar membayar cicilannya hingga macet sama sekali.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada akhir triwulan I 2016, total nominal NPL mencapai 113,08 triliun atau 2,8 persen dari total kredit yang sebesar Rp 4.000 triliun.
Sementara pada akhir triwulan I 2015, nominal NPL sebesar Rp 88,4 triliun atau 2,4 persen dari total kredit senilai Rp 3.679,87 triliun.
Artinya, selama periode Maret 2015 – Maret 2016, nominal NPL bertambah Rp 24,6 triliun.
Penambahan NPL tersebut lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Berdasarkan aturan, bank harus menyisihkan cadangan atau provisi untuk mengantisipasi potensi kerugian akibat kredit bermasalah.
Dana pencadangan tersebut tentu saja diambil dari keuntungan bank sehingga laba bersih pun tergerus.
Hampir semua sektor
Peningkatan NPL hampir terjadi di semua sektor ekonomi. Kenaikan yang signifikan terjadi pada sektor perdagangan, industri pengolahan, pertambangan, dan transportasi.
Di sektor perdagangan, rasio NPL naik dari 3,48 persen pada Maret 2015 menjadi 4,24 persen pada Maret 2016 dengan nominal sebesar Rp 33,08 triliun.
Dalam periode yang sama, NPL industri pengolahan naik dari 1,99 persen menjadi 3 persen dengan nominal mencapai Rp 21,76 triliun.
Sementara NPL industri pertambangan naik dari 2,5 pada awal 2015 menjadi 4,2 persen saat ini. Meningkatnya NPL tidak terlepas dari lesunya aktivitas sektor-sektor tersebut.